JAKARTA – Di tahun 2073, bumi bukan lagi rumah. Udara dipenuhi debu sejarah yang gagal, dan sisa-sisa peradaban berjalan dalam senyap. Dalam lanskap muram itu, berdirilah seorang perempuan bernama Ghost bisu, penyintas, dan saksi bisu kehancuran dunia yang pernah ia kenal.
“2073” karya Asif Kapadia bukan hanya fiksi ilmiah. Ia adalah peringatan. Gabungan dokumenter dan narasi sinematik yang menyayat, mengisahkan apa yang bisa terjadi ketika umat manusia terus menunda perubahan sampai semua terlambat.
Karakter: Ghost, Bayangan Masa Lalu dan Masa Depan
Samantha Morton tampil memukau sebagai Ghost, seorang wanita yang tak lagi punya kata-kata, namun menyimpan ingatan tentang dunia sebelum semuanya runtuh. Lewat tatapannya yang kosong, penonton diajak menyelami trauma kolektif umat manusia: Bencana iklim, pengawasan digital, perang sipil, dan runtuhnya demokrasi.
Ghost bukan pahlawan dalam arti klasik. Ia hanyalah satu dari banyak yang bertahan, mencoba memberi makna dalam kekacauan. Namun justru dari diamnya, muncul teriakan yang paling lantang.
Konflik: Dunia yang Membunuh Masa Depannya Sendiri
Lewat kilas balik dan potongan arsip dokumenter, kita menyaksikan perjalanan umat manusia menuju kehancuran:
– Perubahan iklim yang diabaikan.
– Penguasa otoriter yang bangkit dari ketakutan massal.
– Teknologi yang digunakan bukan untuk membebaskan, tapi mengendalikan.
Di tengah kehancuran itu, muncul pertanyaan: apakah manusia layak bertahan? Ataukah dunia ini memang diciptakan untuk dihancurkan ulang?
Resolusi: Ingatan sebagai Perlawanan
“2073” tidak menawarkan solusi manis. Namun melalui Ghost, film ini mengingatkan: selama ada ingatan, selama ada satu jiwa yang masih bisa mengenang dunia yang pernah lebih baik, maka harapan belum sepenuhnya mati.
Ingatan menjadi bentuk perlawanan paling sederhana dan mungkin paling penting terhadap sistem yang ingin menghapus sejarah, identitas, dan harapan.
Pesan Moral: Dunia Tak Hancur Seketika
“2073” menegaskan: kehancuran tidak datang dalam ledakan besar. Ia merayap, tumbuh dari kelalaian kecil, kompromi yang dianggap remeh, dan kepasifan yang dibungkus kenyamanan.
Film ini menampar, sekaligus mengajak merenung tentang apa yang kita abaikan hari ini, dan betapa mahal harganya di masa depan.