SURABAYA — Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR) menggelar program “Durian Palu Mendunia: Pelatihan Ekspor, Strategi Pemasaran, dan Pendekatan Berkelanjutan”. 

Kegiatan digelar di Kabupaten Parigi Moutong serta Desa Kapiroe, Kecamatan Palolo, Kota Palu, pada 8–9 Agustus 2025 

Program yang dipimpin oleh Bayu Arie Fianto, melibatkan dosen dan mahasiswa FEB UNAIR: Ida Wijayanti, Noven Suprayogi, Sulistya Rusgianto, Alviyah Camilia Ch, serta Mu’allim Syifa’ Al Qulubi. 

Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Pengabdian kepada Masyarakat Skema Program Kemitraan Masyarakat Universitas Airlangga tahun 2025.

Program ini bertujuan meningkatkan daya saing Durian Palu di pasar internasional melalui penguatan kapasitas petani, mulai dari teknik budidaya, strategi ekspor, pemasaran digital, hingga penerapan standar global berkelanjutan yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dalam pelaksanaannya, tim FEB UNAIR bekerja sama dengan Husnah, dari SDGs Center LPPM Universitas Tadulako untuk memperkuat perspektif keberlanjutan pada seluruh rangkaian kegiatan.

Tim memaparkan bahwa Indonesia termasuk negara penyumbang emisi gas rumah kaca di tengah meningkatnya kebutuhan energi. Kondisi tersebut berdampak pada ekosistem alam dan produktivitas pertanian, termasuk durian. Di sisi lain, pasar global kini makin memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap produk.

Karena itu, penerapan prinsip-prinsip SDGs menjadi penting agar petani dapat menghasilkan durian yang tidak hanya unggul dari segi rasa, tetapi juga memenuhi standar keberlanjutan.

Sulawesi Tengah tercatat memiliki potensi besar sebagai sentra produksi durian nasional. Data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura menunjukkan produksi lebih dari 412 ribu kuintal dengan sekitar 3,7 juta pohon tersebar di 13 kabupaten/kota. Sentra utama mencakup Parigi Moutong, Poso, Sigi, Banggai, Tolitoli, dan Morowali Utara.

Varietas unggulan seperti Montong, Kani, Mosaking, Pelangi, hingga Musang King lokal menjadikan wilayah ini sebagai kawasan strategis untuk pengembangan ekspor.

Pada sesi pelatihan, petani dibimbing menerapkan Good Manufacturing Practice (GMP). Materi meliputi penggunaan pestisida organik, pengurangan bahan kimia, pengelolaan waktu penyemprotan, pemanfaatan kompos kulit durian, pupuk fermentasi, serta pupuk cair organik.

Kebersihan kebun dan higienitas alat panen juga ditekankan sebagai bagian dari mutu dan keamanan produk.

Salah satu fokus penting adalah pengenalan penggunaan barcode dan sistem traceability sebagai syarat pasar ekspor. Melalui sistem ini, asal-usul durian dapat ditelusuri mulai dari petani, lokasi kebun, varietas, cara budidaya, hingga waktu panen.

Asngadi, penanggung jawab Kelompok Tani Maju Bersama, menilai dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan.

“Setiap petani yang memiliki lahan minimal satu hektar akan mendapat barcode agar durian yang diekspor bisa dilacak asal-usulnya. Ini sejalan dengan konsep good farming practice dan keamanan pangan,” ujarnya, Senin (17/11).

Tim juga mengenalkan praktik berkelanjutan dari Thailand dan Malaysia. Thailand menerapkan ThaiGAP dan GlobalG.A.P. dengan irigasi efisien serta pengendalian hama berbasis feromon. Malaysia mengembangkan Musang King organik melalui pemanfaatan limbah pertanian dan sistem agroforestry.

Model keberlanjutan ini menjadi inspirasi bahwa durian lokal Palu memiliki peluang besar menembus pasar global.

Tim FEB UNAIR menegaskan bahwa keberlanjutan bukan sekadar tren, tetapi investasi jangka panjang bagi petani. Melalui peningkatan kapasitas, standar SDGs, teknologi traceability, dan pengolahan limbah yang bijak, Durian Palu diharapkan mampu benar-benar “mendunia” sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan generasi mendatang.