JAKARTA – Film ini dibuka dengan suasana yang menipu: langit cerah, jalanan sepi, dan dua orang dewasa yang hanya ingin melarikan diri sejenak dari hiruk-pikuk kota. Jenny (Kelly Reilly) dan kekasihnya, Steve (Michael Fassbender), datang ke sebuah danau terpencil bernama Eden Lake tempat yang seharusnya menjadi simbol ketenangan.
Namun dari awal, penonton sudah bisa merasakan ada yang ganjil. Ketenteraman itu terasa hampa, seperti permukaan air yang terlalu diam sebelum badai.
Ketegangan mulai merayap pelan ketika pasangan itu berhadapan dengan sekelompok remaja lokal yang kasar, agresif, dan tampak terbiasa beroperasi tanpa batasan moral.
Mereka bukan monster fiksi, bukan makhluk supernatural justru itu yang membuat film ini semakin menyesakkan. Di balik wajah muda mereka, ada kemarahan yang tidak dikendalikan, ada rasa berkuasa yang lahir dari lingkungan yang penuh pengabaian.
Ketika konflik kecil berubah menjadi aksi teror yang brutal, film ini tidak memberi jeda. Eden Lake berubah menjadi arena perburuan.
Jenny dan Steve dipaksa bertahan hidup, bukan karena kesalahan besar, melainkan karena mereka berada di tempat yang salah dan berusaha membela diri dari penghinaan yang sepele.
Yang membuat Eden Lake begitu mengguncang bukan hanya kekerasannya, tapi cara sutradara James Watkins menghadirkan realisme yang dingin. Kamera mengikuti kepanikan Jenny, napasnya yang terengah, luka-luka yang semakin parah, dan ketakutan yang mengoyak kewarasan.
Penonton dipaksa menyaksikan, tanpa bisa melarikan pandangan, bagaimana manusia bisa berubah menjadi pemangsa ketika rasa empati mati.
Di balik itu semua, film ini secara halus menyentil kondisi sosial: kegagalan keluarga, ketidakpedulian lingkungan, dan bagaimana kekerasan bisa diwariskan dari rumah ke jalanan.
Ending-nya tanpa memberikan spoiler menampar. Bukan klimaks yang memberi kelegaan, melainkan kenyataan pahit bahwa kejahatan sering kali lahir di tempat yang tampak biasa.