JAKARTA – Umur boleh bertambah, angka di KTP terus naik, tapi tidak selalu sejalan dengan kedewasaan yang tumbuh. Ada kalanya seseorang tetap menunjukkan sikap kekanak-kanakan, walau usianya sudah masuk kategori matang. Bukan semata karena pilihan, tapi lebih sering karena ada luka atau proses yang tertinggal.
Tidak semua orang dibesarkan dengan kondisi yang sama. Ada yang tumbuh lewat tempaan hidup, ada pula yang nyaris tak pernah disentuh tantangan. Maka, sebelum menghakimi seseorang karena terlihat “belum dewasa”.
Sahabat Tikta, mungkin kita bisa menengok dulu kedelapan faktor ini yang diam-diam bisa menghambat proses pendewasaan seseorang.
1. Kurangnya Pengalaman Hidup
Hidup adalah guru yang tak pernah absen mengajar. Tapi ketika seseorang belum banyak bertemu tantangan, belum pernah jatuh lalu bangkit, sering kali aspek emosional dan mentalnya ikut tertinggal. Ia mungkin cerdas, kompeten secara akademik, tapi goyah ketika harus membuat keputusan besar atau menghadapi konflik.
Pengalaman bukan soal usia, tapi soal apa yang pernah dilalui. Ketika seseorang selalu ada di zona nyaman dan tidak pernah dihadapkan pada realita keras kehidupan, perkembangan kedewasaannya pun cenderung lambat. Ia bisa tumbuh secara fisik, tapi jiwanya belum terlatih.
2. Lingkungan yang Terlalu Melindungi
Ada kalanya niat baik justru menjadi jebakan. Lingkungan yang terlalu protektif entah itu orang tua, pasangan, atau kerabat bisa membuat seseorang tumbuh dalam gelembung aman yang rapuh. Setiap kesulitan disingkirkan, setiap luka dicegah sebelum datang.
Masalahnya, tanpa belajar menghadapi rintangan sendiri, seseorang tidak akan tahu cara bertahan. Ia jadi tidak terbiasa mengambil keputusan, enggan menerima risiko, dan cenderung bergantung. Bukan karena tak mampu, tapi karena tak pernah diberi kesempatan untuk mencoba.
3. Ketergantungan Berlebihan pada Orang Lain
Ketika seseorang terlalu lama bersandar, lama-lama kakinya lupa cara berdiri. Ketergantungan yang berlebihan baik secara emosional maupun finansial membuat seseorang tidak terbiasa menyelesaikan masalah sendiri. Ia menunggu, berharap, dan terus bergantung.
Sikap ini bisa menghambat kemandirian. Bukannya berproses menjadi dewasa, ia justru terjebak dalam pola lama: menuntut, menyalahkan, atau menunggu diselamatkan. Kedewasaan tidak tumbuh dalam kenyamanan, tapi dalam tanggung jawab yang dipikul sendiri.
4. Trauma Masa Lalu
Luka yang tidak terlihat kadang justru paling membekas. Trauma masa kecil seperti penolakan, kekerasan, atau kehilangan bisa membuat seseorang membangun mekanisme bertahan yang justru menghambat kedewasaan. Ia bisa terlihat keras di luar, tapi rapuh di dalam.
Orang yang terluka kadang kembali ke pola lama yang membuatnya merasa aman, termasuk bersikap kekanak-kanakan sebagai bentuk pelarian. Tidak semua trauma mudah disadari, apalagi disembuhkan. Maka butuh keberanian dan kesadaran untuk memprosesnya dengan cara yang sehat.
5. Kurangnya Pendidikan Emosional
Sekolah mengajarkan matematika dan sejarah, tapi tidak selalu mengajarkan cara mengenali emosi atau mengelola konflik. Padahal, pendidikan emosional adalah fondasi kedewasaan. Tanpa itu, seseorang mudah meledak, menyalahkan, atau bahkan memanipulasi, tanpa sadar apa yang sedang ia rasakan.
Pendidikan emosional bukan hanya soal tahu marah atau sedih. Tapi juga kemampuan untuk mengatur, memahami, dan mengekspresikan emosi secara sehat. Tanpa keterampilan ini, seseorang bisa terjebak dalam pola reaktif yang jauh dari sikap dewasa.
6. Pengaruh Media dan Budaya Populer
Budaya populer sering kali merayakan gaya hidup yang ringan dan santai, bahkan terkadang cenderung kekanak-kanakan. Tayangan hiburan, meme, dan konten viral bisa menanamkan narasi bahwa bersikap tidak dewasa itu lucu, relatable, bahkan keren.
Tanpa disadari, ini memengaruhi cara seseorang menanggapi hidup. Daripada menghadapi realita dengan tanggung jawab, mereka memilih untuk bercanda, kabur, atau menggampangkan segalanya. Bukan karena tidak bisa serius, tapi karena budaya sekitarnya memberi ruang lebih pada sisi “fun” ketimbang “mature”.
7. Kurangnya Tanggung Jawab dalam Hidup Sehari-hari
Tanggung jawab adalah ladang tempat kedewasaan tumbuh. Ketika seseorang jarang diberi tanggung jawab atau selalu lari darinya maka tidak ada pembelajaran yang cukup untuk menjadi dewasa. Ia tidak tahu bagaimana rasanya memikul beban, membuat keputusan, atau menanggung akibat dari pilihannya sendiri.
Kedewasaan tidak datang dari membaca teori, tapi dari menjalani langsung. Memasak sendiri, mengatur keuangan, merawat hubungan, atau bahkan merawat diri sendiri semua itu melatih otot-otot kedewasaan yang tak bisa tumbuh hanya dengan usia.
8. Gangguan Psikologis yang Menghambat
Kita tidak bisa menutup mata bahwa gangguan psikologis seperti ADHD, depresi, atau kecemasan bisa memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengelola hidup. Ia mungkin punya niat untuk bertumbuh, tapi pikirannya terlalu penuh dengan hal-hal yang sulit dikendalikan.
Kondisi ini membuat perkembangan emosionalnya terhambat, bukan karena malas atau enggan berubah, tapi karena sistem dalam dirinya sedang tidak berjalan optimal. Dalam situasi ini, dukungan dan penanganan yang tepat jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar kritik.
Catatan:
Menjadi dewasa bukan soal umur, tapi tentang bagaimana seseorang merespons hidup. Setiap orang punya latar belakang, luka, dan prosesnya sendiri. Maka, daripada buru-buru menghakimi, mungkin kita bisa mulai dengan memahami. Siapa tahu, di balik sikap kekanak-kanakan itu, ada cerita yang belum selesai diceritakan dan belum sempat disembuhkan.