JAKARTA – Apa jadinya jika rumah impian berubah menjadi teka-teki tentang kewarasan? Dream House, film psychological thriller yang disutradarai Jim Sheridan, menampilkan Daniel Craig dalam peran yang menantang: seorang ayah yang perlahan-lahan kehilangan pegangan antara realita dan trauma.
Will Atenton (Daniel Craig) adalah seorang editor sukses yang memilih mundur dari hiruk pikuk New York demi kehidupan keluarga yang lebih tenang. Ia pindah ke rumah besar di pinggiran kota bersama istrinya, Libby (Rachel Weisz), dan dua anak mereka. Tapi rumah itu tidak memberi ketenangan, justru menggali lubang masa lalu yang gelap.
Konflik: Ketika Kenyataan Tak Lagi Nyata
Will mulai terganggu oleh bayangan sosok asing, suara-suara mencurigakan, dan kejanggalan di rumahnya. Tetangganya bersikap dingin, seolah menyimpan rahasia yang tak mau mereka bagi. Perlahan, terkuak fakta bahwa rumah yang kini ia tempati adalah lokasi pembunuhan brutal yang menewaskan seorang ibu dan dua anak yang ternyata adalah keluarganya sendiri.
Di titik inilah Dream House membelok tajam. Will bukanlah suami yang baru pindah, tapi seorang pasien rumah sakit jiwa yang mengalami trauma berat. Semua yang ia alami adalah upaya pikirannya untuk menciptakan versi realita yang bisa ia terima.
Karakter: Di Balik Wajah-Wajah Luka
Will bukan sosok gila klise. Ia adalah cerminan dari seseorang yang begitu terpukul oleh kehilangan, hingga otaknya membangun dunia palsu demi bertahan. Daniel Craig membawakan karakter ini dengan campuran ketegangan, kebingungan, dan empati.
Libby, yang diperankan Rachel Weisz, tampil penuh kehangatan dalam versi realita Will dan kemudian hanya hidup dalam memorinya. Sementara Naomi Watts sebagai Ann, tetangga yang ikut terlibat dalam misteri itu, memberi jembatan antara masa lalu dan kenyataan yang tak bisa dihindari.
Resolusi: Menerima Luka yang Tak Mungkin Sembuh
Film ini tidak menawarkan penutupan bahagia. Meski Will berhasil menguak siapa pembunuh keluarganya, kenyataan itu tak serta-merta menyembuhkan. Ia hanya bisa menerima bahwa hidupnya tak akan kembali seperti dulu, dan bahwa rumah itu, seperti kenangannya, adalah ruang yang sudah tak bisa dihuni.
Pesan Moral
Dream House menyampaikan bahwa rasa kehilangan bisa membentuk kenyataan baru dalam benak manusia. Tapi kebenaran, seburuk apa pun, tetap harus dihadapi. Kadang, rumah yang rusak bukan soal bangunan tapi soal hati yang belum bisa pulih.