PT Darma Henwa Tbk (DEWA) yang mengerjakan proyek pembangunan jalan tambang sepanjang 12 kilometer untuk PT Gorontalo Minerals di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Proyek tersebut merupakan bagian dari pengembangan tambang tembaga dan emas berbasis kontrak karya (KK) yang dimiliki PT Gorontalo Minerals.
Namun, di tengah pengerjaan proyek legal tersebut, muncul dugaan serius. PT Darma Henwa disebut-sebut turut mengelola batu hitam dan emas hasil tambang ilegal yang diambil warga dari lokasi kontrak karya.
Dugaan ini mencuat setelah viral di berbagai sosial media dokumen surat perjanjian kontrak yang di tandatangani di atas meterai oleh Taufik Hidayat Ridhoyudin Direktur Opersional PT Darma Henwa Tbk (DEWA) dengan sejumlah pemiik lubang tambang di Kabupaten Bonebolano, sebagai saksi dalam dokumen perjanjian kerja sama tersebut dari pihak PT. Gorontalo Minerals Budi Hadmoko.
Aktivitas ini diduga kuat tidak memiliki izin resmi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Undang-undang ini menegaskan bahwa seluruh kegiatan pertambangan harus berbasis pada izin resmi, yakni IUP (Izin Usaha Pertambangan), IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), atau izin lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Berdasarkan Pasal 161 UU Minerba, setiap pihak yang membeli, menjual, mengangkut, atau mengelola hasil tambang tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Pengamat hukum dari LBH Keadilan Rakyat Suandi Kamaru, MH., menegaskan bahwa keterlibatan perusahaan dalam aktivitas pengelolaan hasil tambang ilegal telah melanggar prinsip kehati-hatian (due diligence) yang diwajibkan oleh undang-undang. “Perusahaan yang terlibat dalam transaksi hasil tambang ilegal berisiko menghadapi sanksi pidana sekaligus kerusakan reputasi,” ujarnya.
“Jika benar PT Darma Henwa Tbk terlibat dalam pengelolaan hasil tambang dari sumber ilegal, maka berdasarkan Pasal 161 UU Minerba, pihak yang membeli, menjual, mengangkut, atau mengelola hasil tambang tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana. Pelanggaran ini dapat berujung pada hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar”, pungkas suandi.
Kasus ini memperlihatkan bahwa di balik pengerjaan proyek-proyek tambang resmi, potensi penyalahgunaan tetap mengintai. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum didesak bertindak cepat untuk memastikan seluruh aktivitas tambang di Bonebolango berjalan sesuai koridor hukum.
PT Darma Henwa Tbk (DEWA) didirikan pada tanggal 8 Oktober 1991. Pada tahun 1996, perusahaan ini menjadi perusahaan penanaman modal asing karena Henry Walker Group Ltd mengakuisisi saham mayoritas perusahaan. Perusahaan ini bergerak dalam bidang jasa kontraktor pertambangan, terutama untuk jasa pertambangan batu bara & mineral, termasuk pembersihan lahan, lapisan tanah atas, pengeboran, peledakan, pemindahan dan pembuangan lapisan penutup, pengambilan batu bara, sisa penambangan batu bara, pengangkutan batu bara, hingga vegetasi dan rehabilitasi. Kantor pusat berlokasi di Bakrie Tower lantai 8, Rasuna Epicentrum, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta, dengan empat kantor operasional di Balikpapan dan Bengalon di Kalimantan Timur, serta Asam-Asam dan Satui di Kalimantan Selatan.
baca : https://www.financialreview.id/korporasi/63414361046/darmahenwa-dewa-bayar-utang-pakai-saham-kepemilikan-investor-lama-terdilusi-44
Kontraktor tambang grup Bakrie ini dikabarkan akan membayar utang usaha senilai Rp554,48 miliar kepada PT Madhani Talatah Nusantara dengan menukar sebanyak 11.089.615.520 saham seri B perseroan.
Adapun utang yang akan dikonversi menjadi saham adalah utang DEWA kepada PT Madhani Talatah Nusantara (MTN) dan PT Andhesti Tungkas Pratama (ATP). Sementara itu, rencana PMT-HMETD akan dilaksanakan pada harga Rp65 per saham, sehingga nilai dari aksi private placement ini sebesar Rp1,12 triliun.
Berdasarkan laporan DEWA untuk periode berakhir 30 September 2024, kewajiban perseroan kepada MTN sebesar Rp756,99 miliar, sementara itu utang kepada ATP senilai Rp358,92 miliar.