JAKARTA – Quills bukan film biasa tentang tokoh sejarah. Ia mengajak penonton menyelami dunia kelam, di mana kata-kata dianggap lebih berbahaya daripada senjata. Diangkat dari kisah nyata kehidupan Marquis de Sade, film ini bukan glorifikasi hasrat, melainkan potret satir tentang benturan antara moral publik dan kebebasan pribadi.

Geoffrey Rush tampil memukau sebagai Marquis de Sade seorang bangsawan, penulis, dan figur kontroversial yang dikenal karena karya-karyanya yang eksplisit dan penuh kritik terhadap kemunafikan sosial. Di film ini, ia digambarkan sudah berada dalam pengasingan: dikurung di rumah sakit jiwa Charenton, diawasi ketat, tetapi tak kehilangan satu-satupun senjata utama imajinasinya.

Di balik jeruji tempat ia dikurung, De Sade tetap menulis. Tulisannya diselundupkan keluar oleh Madeleine LeClerc (diperankan Kate Winslet), seorang pembantu binatu yang bersimpati padanya. Madeleine bukan hanya perantara, melainkan juga simbol perempuan dari kelas bawah yang berani menyentuh api yang membakar banyak pria dari kalangan atas.

Konflik memuncak saat hadirnya Dr. Royer-Collard (Joaquin Phoenix), seorang rohaniwan muda yang ingin mengubah rumah sakit jiwa menjadi tempat rehabilitasi moral. Namun, ia pun terseret dalam dilema etika dan nafsu. Sementara Michael Caine sebagai pejabat konservatif tampil sebagai wajah penguasa yang ingin membungkam kata-kata De Sade selamanya.

Quills bukan tontonan yang nyaman. Ia menggugat. Ia mempertanyakan: apakah benar ada moral universal? Siapa yang berhak menafsirkan batas antara karya seni dan kebejatan? Dan apa yang tersisa dari seorang manusia ketika suara dan tulisan sudah dirampas?

Karakter De Sade dalam film ini bukan hanya gila dan cabul, melainkan kompleks penuh amarah, sarkasme, dan kepedihan mendalam terhadap masyarakat yang menindas dengan topeng kesopanan. Madeleine menjadi jembatan antara dunia liar De Sade dan masyarakat umum, sementara Royer-Collard dan para pejabat menunjukkan wajah kekuasaan yang gemar membungkam.

Pesan Moral

Di tengah kebisingan moral dan otoritas, Quills menyuarakan kebebasan berpikir—dengan segala risikonya. Ia menunjukkan bahwa tulisan bisa bertahan bahkan ketika tubuh dan suara dipenjara. Bahwa kata-kata adalah bentuk perlawanan terakhir, dan terkadang, yang paling ditakuti.