JAKARTA – Di era digital ini, media sosial telah menjadi ruang baru yang tidak hanya menyambungkan orang, tetapi juga membentuk cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Instagram, TikTok, YouTube, X, dan platform lainnya bukan lagi tempat bersosialisasi, tetapi telah menjelma menjadi medan pertarungan ide, gaya hidup, bahkan ideologi.
Konten menjadi senjata sekaligus jendela. Dalam satu guliran layar, seseorang bisa tertawa karena video lucu, kemudian tersentuh oleh kampanye kemanusiaan, lalu termakan hoaks yang mengadu domba.
Ketika Media Sosial Memberdayakan
Media sosial memberi ruang demokratis bagi siapa pun untuk bersuara. Mereka yang dulu tak memiliki akses ke media arus utama kini bisa dikenal lewat unggahan video, tulisan, atau karya visual. Banyak pelaku UMKM mengakui bahwa konten digital meningkatkan omzet penjualan. Kampanye sosial yang viral juga mampu menggalang donasi atau mengubah kebijakan publik.
Di sisi lain, keberadaan komunitas daring baik di grup Facebook, utas X, atau thread Reddit mampu memberikan dukungan emosional kepada mereka yang merasa terasing secara sosial di dunia nyata. Mereka menemukan teman seperjalanan, walau tak pernah bertemu fisik.
Namun, Tak Semua yang Viral Itu Bermakna
Di balik cahaya terang media sosial, ada sisi gelap yang kerap luput disadari. Konten sensasional seringkali lebih cepat menyebar daripada informasi berbasis data. “Apa yang viral belum tentu benar,” begitu kata pepatah digital hari ini.
Ketika konten clickbait, prank merendahkan, atau gaya hidup mewah menjadi norma baru, dampaknya tak sederhana. Banyak remaja merasa tak cukup keren, tak cukup kaya, tak cukup menarik, hanya karena algoritma memaparkan mereka pada kehidupan palsu yang dibungkus sempurna.
Pola Konsumsi dan Literasi Digital
Masalahnya bukan hanya pada konten, tetapi pada pola konsumsi dan literasi pengguna. Banyak yang menelan informasi mentah-mentah tanpa memverifikasi sumbernya. Hal ini membuka ruang luas bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga radikalisasi.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya pilihan. Peran keluarga, sekolah, dan pemerintah sangat krusial untuk membekali generasi muda dengan kemampuan memilah konten, mengenali narasi manipulatif, hingga membangun kesadaran digital yang sehat.
Selain itu, pengguna perlu lebih sadar akan peran algoritma apa yang kita lihat bukan semata-mata kenyataan, melainkan hasil dari pola interaksi kita sendiri.
Mengatur ulang algoritma dengan menyukai konten positif, membatasi waktu layar, dan mengikuti akun-akun edukatif bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar.