JAKARTA – Di permukaan, Alice Harvey tampak seperti perempuan muda yang sedang menapaki karier di dunia penerbitan New York. Namun di balik sikapnya yang canggung dan pilihan hidupnya yang sering kacau, tersimpan luka masa lalu yang membentuk seluruh jalan hidupnya.
The Girl in the Book, karya sutradara Marya Cohn, menyingkap secara perlahan bagaimana masa remaja Alice diwarnai manipulasi emosional dari seorang penulis terkenal yang seharusnya menjadi mentor, tetapi justru melanggar kepercayaan.
Cerita bergerak maju-mundur, memperlihatkan Alice di masa kini yang berusaha membangun kepercayaan diri di lingkungan kerja, sementara bayang-bayang pengkhianatan itu terus menghantuinya.
Ketika sang penulis kembali hadir dalam hidupnya lewat proyek buku, luka lama yang tak pernah sembuh kembali terbuka, memaksa Alice menghadapi kebenaran yang selama ini ia hindari.
Marya Cohn tidak mengeksekusi cerita ini dengan dramatisasi berlebihan. Sebaliknya, ia memilih pendekatan intim yang membuat penonton merasa ikut masuk ke kepala Alice. Emily VanCamp memerankan Alice dengan campuran rapuh dan berani, memunculkan simpati sekaligus rasa frustrasi. Michael Nyqvist sebagai penulis yang memikat namun berbahaya menambah lapisan kompleks pada narasi.
The Girl in the Book merupakan potret bagaimana trauma masa lalu dapat membentuk hubungan, pilihan, dan cara seseorang memandang dirinya.
Film ini mengajak penonton merenung penyembuhan bukan hanya tentang melupakan, melainkan juga berani menuntut kembali kendali atas hidup yang pernah direnggut.