SURABAYA – Polemik atas berdirinya Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Dukuh Pakis yang dikelola oleh Yayasan Ina Makmur, mendapat penolakan dari warga sekitar.

Menanggapi hal tersebut, Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar, Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Ketua Yayasan Ina Makmur dan perwakilan warga Dukuh Pakis untuk mencari solusi bersama, pada Senin (29/9).

Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Ajeng Wira Wati, yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyampaikan bahwa penolakan warga disebabkan atas peruntukan pada bangunannya yang tidak sesuai.

“Jadi memang di situ ada penolakan warga, dalam artian itu harusnya, di situ kan adalah perumahan sehingga diperuntukkan untuk Rumah, tidak ada untuk usaha,” ujarnya.

Ajeng, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa pihak SPPG telah mengurus sejumlah perizinan, mulai dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hingga Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk mendirikan dapur MBG.

“Proses ini sudah berjalan sejak Februari, bahkan sebelumnya pihak SPPG, juga telah berkoordinasi dengan pihak kelurahan dan kecamatan,” imbuh politisi asal Partai Gerindra itu.

Sebelumnya, Dapur SPPG sudah mulai jalan per 1 September, namun di tengah berjalannya, muncul penolakan dan keberatan dari warga setempat.

Atas berbagai pertimbangan, Ajeng yang juga Ketua Fraksi Gerindra tersebut, menyampaikan, bahwa pihak SPPG akhirnya sepakat untuk merelokasi kegiatan tersebut.

“Ini sudah menjadi itikad baik dari SPPG. Hanya saja, mereka membutuhkan waktu minimal tiga hingga enam bulan untuk proses relokasi,” pungkasnya.

Sementara itu, perwakilan warga RT 01 RW 07, Kelurahan Dukuh Pakis, Antoni Darsono Basuki, membenarkan bahwa penolakan warga dilatarbelakangi oleh ketidaksesuaian peruntukan bangunan..

Menurutnya, saat pengajuan izin ke warga, pihak yayasan hanya menyebut renovasi rumah, namun kemudian dijadikan dapur SPPG.

“Awalnya ditulis renovasi rumah, tahu-tahu dibuat dapur. Jadi berbeda dengan konsep awal saat tanda tangan. Tidak sesuai seperti yang disampaikan sebelumnya,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti dampak limbah dari aktivitas dapur Makanan Bergizi Gratis (MBG) tersebut. “Limbahnya sangat banyak. Kalau satu kotak Rp3.500 dikalikan jumlah distribusi setiap hari dalam sebulan, berapa banyak sampah yang dihasilkan?” tegas Antoni.

Di sisi lain Ketua Yayasan Ina Makmur, Joko Dwitanto, mengungkapkan, bahwa setelah pembahasan ini akan dijadwalkan kembali pertemuan bersama warga, yang nantinya juga akan didampingi pihak kecamatan dan kelurahan.

Namun, ia menegaskan, bahwa pihaknya tetap memohon waktu untuk proses relokasi.

“Intinya kami siap relokasi, tapi kami mohon waktu, biar berproses, karena ini dana udah siap tinggal jalan, kasihan mereka yang gantung, sampai relokasi, biarkan kami menjalankan amanah kami untuk memberikan manfaat kepada yang berhak,” tandasnya.