SURABAYA – Polemik atas sengketa lahan yang belakangan ini marak terjadi di Kota Pahlawan, mendapat perhatian serius dari Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni. Menurutnya, konflik tersebut kerap muncul seiring dengan tingginya harga tanah di Surabaya.

“Ini adalah rumus yang lazim. Ketika harga tanah naik, maka peluang terjadinya konflik agraria juga makin terbuka lebar,” ujar Fathoni, Senin (14/7).

Sehingga, Fathoni menyarankan agar masyarakat tidak hanya mengandalkan dokumen yuridis, tetapi juga memperkuat penguasaan fisik atas lahan yang dimiliki.

“Bisa dilakukan dengan pemagaran, pemasangan papan nama, dan tindakan lainnya, sehingga tanah yang dimiliki tidak mudah diakui atau diserobot oleh pihak lain,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Legislator dari Partai Golkar ini mengungkap bahwa DPRD Surabaya kerap menerima pengaduan dari warga yang memiliki bukti kepemilikan berupa petok D.

Namun belum dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM), melihat sejumlah kasus, lahan tersebut tiba-tiba telah diterbitkan sertifikat atas nama pihak lain.

“Secara hukum, sertifikat hak milik itu dianggap sah oleh negara, kecuali ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya,” tegasnya.

Selain SHM, Fathoni juga menyayangkan proses hukum perdata yang dinilai terlalu berbelit dan melelahkan bagi masyarakat yang ingin menuntut keadilan.

“Masalahnya, tata cara beracara dalam hukum perdata kita itu cukup panjang. Proses di tingkat pertama saja bisa memakan waktu paling cepat enam bulan sejak disidangkan,” jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, Fathoni mendorong agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya 1 dan 2, serta Kantor Wilayah BPN Jawa Timur, dapat mengambil langkah diskresi dalam penyelesaian sengketa agraria, tanpa harus menunggu putusan pengadilan.

“Saya berharap dalam momentum tertentu, ketika terjadi sengketa antara warga dan korporasi, BPN dapat mengambil langkah cepat. Mereka memiliki buku warkah yang bisa ditelusuri untuk mengetahui riwayat kepemilikan tanah, mulai dari proses jual beli hingga peralihan hak,” paparnya.

Menurut Fathoni, dengan menelusuri dokumen tersebut, BPN seharusnya bisa melakukan penilaian objektif dan mengambil kebijakan diskresi, agar persoalan tidak selalu berakhir di meja hijau yang menyita waktu dan energi.

Tak hanya BPN, Fathoni juga mendorong Mahkamah Agung (MA) untuk terlibat lebih aktif dalam penyelesaian sengketa agraria yang melibatkan masyarakat dan korporasi.

“Saya berharap Mahkamah Agung dapat mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur agar sengketa agraria tidak hanya dilihat dari nilai ganti rugi, tetapi juga mempertimbangkan substansi perkara,” ucapnya.

Ia menilai, perkara semacam ini seharusnya dapat ditangani melalui mekanisme peradilan cepat, bukan proses peradilan umum yang cenderung lamban.

“Fokusnya bukan pada besar kecilnya nilai kerugian yang disengketakan, melainkan siapa pihak-pihak yang bersengketa. Dengan demikian, masyarakat yang mencari keadilan bisa memperolehnya dengan cara yang lebih efektif dan efisien,” pungkasnya.