SURABAYA – Anggota Komisi A DPRD Surabaya dari Fraksi Gerindra, Azhar Kahfi, menyoroti fenomena 50 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengundurkan diri dari ajang seleksi terbuka kepala dinas, di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Menurutnya, meskipun seleksi tersebut bertujuan untuk menjaring inovasi, fenomena mundurnya para PNS perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
“Ajang ini patut diapresiasi karena memberikan ruang bagi para peserta untuk memaparkan visi, misi, serta inovasi mereka. Namun, yang perlu dicermati adalah alasan di balik mundurnya 50 PNS tersebut. Apakah karena merasa tidak mampu atau ada faktor lain yang membuat mereka enggan melanjutkan?” ujar Azhar Kahfi, pada saat dikonfirmasi oleh pawarta tikta.id di ruangannya Kamis (20/3).
Kahfi menilai, kompetisi ini sejatinya merupakan ajang pameran inovasi yang membuka peluang bagi siapa saja yang memiliki gagasan baru untuk peningkatan kinerja kedinasan. Ia berharap inovasi yang telah disampaikan oleh para peserta tidak sekadar menjadi catatan, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh kepala dinas yang terpilih nantinya.
“Dari 50 orang yang ikut, banyak inovasi yang lahir. Kepala dinas yang terpilih harus mengingat bahwa ada gagasan-gagasan segar dari peserta lain yang bisa diintegrasikan dalam tim kerja. Ini akan membuat kedinasan lebih kuat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Kahfi sempat menyinggung pentingnya penentuan indikator keberhasilan bagi kepala dinas yang terpilih. Menurutnya, jika seleksi ini menekankan pengalaman sebagai syarat utama, maka harus ada target yang jelas.
“Kalau kepala dinas yang dipilih adalah yang berpengalaman, maka harus ada ukuran yang jelas. Misalnya, dalam 100 hari kerja, apa targetnya? Apa indikator keberhasilannya? Ini harus dikawal, karena jika tidak mampu memenuhi target, maka anggapan bahwa pengalaman adalah kunci keberhasilan bisa dipertanyakan,” tegasnya.
Selain itu, Kahfi juga menyoroti dinamika hubungan antara junior dan senior di lingkungan birokrasi. Ia menilai, dalam dunia PNS, ada hierarki yang masih sangat terasa, sehingga junior yang berani mengajukan gagasan kerap dianggap sebagai ancaman bagi seniornya.
“Masih ada budaya di mana junior dianggap menantang senior jika ikut dalam seleksi jabatan. Padahal, yang seharusnya terjadi adalah pembinaan dan kolaborasi. Jika ada junior yang memiliki inovasi bagus, sebaiknya dirangkul, bukan dianggap pesaing,” jelasnya.
Menurutnya, kompetisi seperti ini harus terus diperbaiki agar benar-benar menjadi ajang adu gagasan yang sehat. Ia berharap ke depan, inovasi yang lahir dari seleksi ini bisa terus dikawal dan diterapkan dalam sistem pemerintahan kota.
“Yang terpenting adalah bagaimana inovasi-inovasi ini tidak hanya menjadi sekadar wacana, tetapi benar-benar diimplementasikan demi kemajuan Surabaya,” pungkasnya.