Bandung sedang menghadapi krisis moral pemerintahan yang paling serius dalam satu dekade terakhir. Di tengah slogan reformasi birokrasi dan jargon “Bandung Utama”, muncul gelombang kuat dugaan jual beli jabatan dan pengondisian proyek yang menyeret bukan hanya pejabat teknis, tetapi juga lingkar kekuasaan tertinggi di kota ini.
Dua dinas strategis, Dinas Perhubungan serta Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga, baru-baru ini menjadi sasaran penggeledahan Kejaksaan Negeri Bandung. Delapan kepala dinas telah diperiksa, dan temuan awal menunjukkan praktik sistematis pengumpulan “setoran jabatan” dan pengondisian tender proyek. Namun akar masalahnya tampaknya jauh lebih dalam: indikasi keterlibatan langsung dari Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung.
Jejak Lingkar Kekuasaan
Sumber di internal birokrasi menyebutkan bahwa sejumlah promosi jabatan dan paket proyek besar di Bandung dalam dua tahun terakhir didominasi oleh orang-orang dari tim sukses politik pasangan kepala daerah. Mereka kini menempati posisi strategis di dinas-dinas yang mengelola proyek bernilai miliaran rupiah.
Lebih jauh, orang-orang terdekat atau “tangan kanan politik” kedua pemimpin kota diduga memainkan peran sebagai perantara dalam negosiasi jabatan dan proyek. Dalam praktiknya, pejabat yang ingin promosi atau pindah ke posisi “basah” diarahkan untuk berkomunikasi melalui orang-orang kepercayaan tersebut, bukan melalui mekanisme resmi Badan Kepegawaian Daerah.
Transaksi ini disebut sebagai bentuk “investasi jabatan”: siapa yang berani membayar, akan dijamin posisinya. Siapa yang menolak, akan digeser dari lingkar kekuasaan.
Dalam konteks itu, Wali Kota dan Wakil Wali Kota tidak lagi berfungsi sebagai pengambil keputusan yang obyektif, melainkan menjadi pusat kekuasaan yang dipagari oleh jejaring politik dan ekonomi yang mereka bangun sendiri. Inilah bentuk mutakhir dari korupsi struktural: birokrasi disulap menjadi pasar kekuasaan.
Dominasi Tim Sukses dan Politik Balas Budi
Dominasi orang-orang dari tim sukses dalam jabatan publik bukan fenomena baru, tetapi di Bandung, skala dan intensitasnya kini mencemaskan. Setelah pasangan kepala daerah dilantik, sejumlah posisi kunci dari Kepala Dinas hingga Sekretaris bergeser ke tangan mereka yang punya kedekatan personal atau kontribusi politik di masa kampanye.
Birokrasi pun terpecah, mereka yang loyal pada sistem meritokrasi tersingkir, digantikan oleh mereka yang loyal kepada pasangan penguasa. Proyek-proyek pembangunan menjadi ajang balas jasa.
Dalam beberapa tender besar, nama-nama kontraktor yang terafiliasi dengan jaringan politik kepala daerah kembali muncul. Mekanisme lelang hanya menjadi formalitas; pemenangnya sudah ditentukan dari awal oleh kelompok kecil yang beroperasi atas restu orang dalam Balai Kota.
Akibatnya, wajah pemerintahan Bandung berubah dari birokrasi pelayanan publik menjadi birokrasi rente politik. Rakyat mungkin masih melihat spanduk reformasi, tetapi di baliknya, integritas telah dijadikan komoditas dagang.
Kepemimpinan yang Kehilangan Kompas Moral
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung kerap tampil di publik membawa narasi integritas, keterbukaan, dan pelayanan prima. Namun realitas di lapangan menunjukkan paradoks yang menyakitkan. Ketika lingkar terdekat mereka justru menjadi makelar jabatan dan proyek, maka setiap kata tentang “integritas” kehilangan bobot moralnya.
Lebih buruk lagi, tidak ada tindakan tegas terhadap dugaan keterlibatan orang-orang dekat mereka. Tidak ada pembekuan jabatan, tidak ada audit menyeluruh, tidak ada keberanian memutus mata rantai rente di lingkar kekuasaan sendiri. Di titik ini, Bandung sejatinya telah tanpa nakhoda. Kapal pemerintahan terus berlayar, tetapi kemudinya dikuasai oleh tangan-tangan yang tidak lagi tunduk pada moral dan hukum.
Kepemimpinan tanpa integritas hanya menghasilkan pemerintahan yang berjalan secara administratif, bukan substantif. Kota mungkin tetap bersinar di atas kertas, tetapi sesungguhnya sedang karam dalam lumpur moralitas kekuasaan.
Kota yang Tersandera
Ketika jabatan dijual dan proyek dipesan oleh lingkar politik, publik menjadi korban paling nyata. Program pembangunan terhambat karena lebih banyak dihitung dari untung rugi politik ketimbang manfaat sosial. Pejabat-pejabat yang menduduki jabatan karena “bayar tiket” akan sibuk mencari cara untuk menutup modalnya.
Pelayanan publik menjadi lamban, proyek infrastruktur banyak yang asal jadi, dan kepercayaan warga terhadap pemerintah runtuh. Inilah harga mahal dari birokrasi yang diperjualbelikan.
Mencabut Akar Busuk Kekuasaan
Jika Bandung ingin selamat dari kehancuran moral, tidak ada pilihan lain selain mencabut akar korupsi di lingkar kekuasaan tertinggi.
1. Audit menyeluruh terhadap semua mutasi jabatan dan penunjukan proyek dua tahun terakhir harus dilakukan secara terbuka oleh lembaga independen.
2. Tangan kanan politik yang diduga menjadi calo jabatan harus disingkirkan dan diproses hukum, bukan sekadar dimutasi.
3. Penegak hukum Kejari, KPK, dan Kepolisian harus berani menembus tembok politik Balai Kota. Tidak boleh ada kekebalan hanya karena pelaku berada di lingkar kekuasaan kepala daerah.
4. Wali Kota dan Wakil Wali Kota harus dimintai pertanggungjawaban moral dan politik. Jika mereka terbukti mengetahui dan membiarkan praktik ini, maka publik berhak menuntut mereka mundur.
Penutup: Bandung di Persimpangan Sejarah
Bandung hari ini berdiri di ambang krisis moral dan politik. Jika dugaan keterlibatan kepala daerah dalam jual beli jabatan terbukti, maka sejarah akan mencatat masa ini sebagai periode paling gelap pemerintahan kota.
Namun jika keberanian moral bisa muncul untuk memutus rantai rente politik, membersihkan lingkar kekuasaan, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Bandung masih punya harapan untuk menemukan kembali arah dan nakhodanya.
Kota ini tak akan pernah jadi “Utama” selama jabatan dan proyek dijadikan komoditas politik. Dan kepemimpinan sejati hanya bisa lahir dari keberanian memerangi kawan sendiri demi kepentingan publik. Jika keberanian itu tak ada, maka benar adanya: Bandung sudah tanpa nakhoda.
*)Oleh: Rohimat Joker, Ketua Umum DPP LSM PMR Indonesia