Bendera HTI dan Papua Merdeka Berkibar, Masikah NKRI Harga Mati ?
Oleh : Fitria Monoarfa

Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, publik dikejutkan dengan isu penolakan pemasangan bendera merah putih dan memilih memasang bendera “bajak laut”, aksi ini bukan hanya ilegal, tapi juga menjadi tamparan keras bagi semangat nasionalisme yang seharusnya menguat di bulan kemerdekaan.

Jauh sebelum viral bendera “bajak laut”, langit Gorontalo telah dihiasi dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Bintang Kejora, dua simbol yang terang-terangan menantang kedaulatan negara berkibar ditengah masyarakat. Ironi ini terjadi di provinsi yang konon katanya merdeka lebih dulu pada 1942 namun memilih untuk tetap merah putih.

Aksi ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah tamparan bagi nasionalisme yang selama ini terlalu percaya diri berdiri di atas seremoni. Kita sedang menyaksikan bagaimana simbol pengkhianatan dipasang tanpa malu.

HTI telah dibubarkan pemerintah sejak 2017 karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Bintang Kejora, simbol separatisme Papua, tak henti dipakai untuk memprovokasi sentimen perpecahan.

Namun dua simbol ini kini menjelma menjadi ornamen publik di kota yang tak seharusnya menjadi panggung makar. Tidak ada penegakan hukum yang berarti, hanya reaksi normatif dan narasi tanpa arti alias omon-omon dari yang katanya APH di negeri ini.

Lebih menyedihkan, kejadian ini berlangsung di provinsi yang meski kaya akan sumber daya alam namun masih bertengger di papan bawah statistik kemiskinan nasional. Ketika rakyat menanti kebijakan yang menyentuh kesejahteraan, APH justru terkesan membiarkan hanya sibuk berebut panggung beking di lokasi pertambangan illegal, akibatnya simbol penghinaan terhadap republik dibiarkan terus berkibar.

Pertanyaannya kini tak lagi soal siapa pelakunya, tapi seberapa serius negara ini menjaga makna kemerdekaan. Jika simbol negara bisa ditukar dengan bendera “bajak laut” tanpa konsekuensi, lalu apa arti dari “NKRI harga mati”?

Sudah saatnya kita berhenti membungkus pengkhianatan dalam dalih kebebasan berekspresi. Nasionalisme bukan sekadar lomba panjat pinang atau bendera di gapura RT. Ia mesti hidup dalam tindakan. Dalam keberanian menindak, bukan sekadar membiarkan.

Sebab republik ini tidak lahir dari kompromi. Ia ditegakkan oleh darah, dijaga dengan keberanian, dan seharusnya dipertahankan dengan ketegasan—bukan basa-basi.