SURABAYA – Pelaku usaha properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur menyampaikan sederet keluhan kepada anggota DPD RI asal Jawa Timur, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, terkait berbagai persoalan dalam pelaksanaan program rumah subsidi, termasuk program 3 juta rumah yang menjadi salah satu agenda unggulan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam pertemuan yang berlangsung saat reses di Surabaya, Rabu (28/5), para pengembang menilai program yang ambisius ini tidak berjalan dengan baik di lapangan. Salah satu penyebab utama adalah munculnya narasi rumah gratis dari pemerintah yang menciptakan kebingungan di pasar dan memicu penundaan pembelian dari masyarakat.
“Sejak beliau dilantik dan mencetuskan program 3 juta rumah, banyak pernyataan beliau yang membuat teman-teman pengembang kesulitan. Utamanya soal rumah gratis. Padahal dalam skema FLPP, yang disubsidi adalah bunga dan uang muka sebesar 1% dengan bunga 5%,” ujar Rizky Supriadi, Sekretaris DPD REI Jatim.
Selian itu, kejelasan kuota program FLPP sering tidak transparan. Ketika pengembang berusaha mengakses kuota rumah subsidi, sering kali dijawab kuota sudah habis, meski secara nasional ditetapkan sebesar 220.000 unit untuk tahun 2025.
“Bisnis rumah subsidi ini masih sangat vital bagi kami. Tapi kuotanya cepat habis, dan pembayaran selisih bunga oleh pemerintah ke bank sangat lambat. Ini bikin banyak bank akhirnya enggan menyalurkan KPR FLPP,” tambahnya. Menurut Rizky, skema FLPP masih menarik karena uang muka hanya 1%, bunga tetap 5%, dan jangka waktu kredit bisa sampai 25 tahun.
Namun lambatnya sistem reimbursement membuat bank Himbara yang sempat berkomitmen ikut serta, jadi mengendurkan partisipasinya. Kondisi ini diperparah dengan narasi rumah gratis, yang membuat calon pembeli ragu dan menunda pembelian karena berharap rumah benar-benar akan diberikan cuma-cuma.
“Beberapa konsumen kami yang sudah kasih tanda jadi minta penundaan pembelian karena mendengar soal rumah gratis. Ini membuat cash flow kami di daerah jadi terganggu,” ujar Rizky.
Wakil Ketua Bidang Infrastruktur dan Tata Ruang REI Jatim, Azwar Hamidi, menambahkan bahwa keterlambatan pengumuman kuota juga berdampak langsung pada jadwal pembangunan. “Biasanya pembangunan dimulai Januari, tapi pengumuman kuota baru keluar April atau Mei. Praktis kami tidak bisa produksi rumah di awal tahun,” katanya.
Menurut Azwar, hingga saat ini dari kuota nasional 220.000 unit, sudah terealisasi 160.000. Di Jawa Timur sendiri, realisasi FLPP menurut REI Jatim berada di kisaran 6.000 hingga 8.000 unit, sementara data BTN menyebut angka total FLPP di Jatim mencapai 12.000 unit.
Ia juga mengkritisi klaim Menteri PUPR di DPR yang menyebut bahwa program rumah subsidi akan mencapai 600.000 unit per tahun. “Setelah kami koordinasi dengan TAPERA, Himbara, dan Kemenkeu, ternyata dana tahun depan hanya cukup untuk 350.000 unit. Jadi dari mana sisa 250.000 unit itu?” tegas Azwar.
Azwar menyoroti bahwa masalah daya beli masyarakat juga krusial. Ia mencontohkan usulan dari Gubernur Jawa Timur untuk menyediakan 20.000 rumah bagi buruh dan wartawan. Namun pertanyaannya, apakah kelompok ini benar-benar mampu membeli? “Mereka tersebar di kawasan industri, tapi belum tentu lolos BI checking atau tidak terjerat pinjol,” ujarnya.
Masalah segmentasi penerima manfaat juga menjadi perhatian serius. Iqbal Randy, Wakil Sekretaris Bidang Perpajakan REI Jatim, menyebut penggolongan kuota rumah berdasarkan profesi seperti nelayan, buruh, wartawan, atau ojek online justru bisa menjadi bumerang.
“Kalau dikelompokkan terlalu spesifik, bisa tidak terserap. Misalnya kuota untuk buruh di satu daerah tidak digunakan, maka kuota itu sia-sia. Padahal sejak dua tahun lalu, kami dorong agar KPR nonformal bisa diakses oleh semua,” ujarnya.
Iqbal juga menyinggung status lahan yang menjadi semakin rumit. Banyak lahan di pinggiran kota yang kini masuk dalam zona hijau karena mendukung program ketahanan pangan nasional. “Jadi program ketahanan pangan justru berbenturan dengan target pembangunan rumah. Kami jadi terpaksa cari tanah di tempat yang makin jauh dan mahal,” katanya.
Ia juga mempertanyakan anjuran pemerintah agar pengembang menggunakan tanah sitaan dari kasus BLBI, kejaksaan, atau bank bermasalah. “Itu rawan. Kita sudah bangun, lalu dipermasalahkan KPK karena status tanahnya tidak tuntas. Padahal pembangunannya sesuai aturan,” tambahnya.
Iqbal mengakui bahwa sebenarnya pasar rumah subsidi masih ada. Namun semua itu membutuhkan kepastian kebijakan dan regulasi. Tanpa kejelasan petunjuk teknis dari program 3 juta rumah, pengembang kesulitan menentukan peran serta dan arah investasi.
“Untuk menyambut 3 juta rumah, kami jujur belum paham harus bagaimana. Tidak ada juknis, tidak tahu kita bisa kebagian apa, atau harus urun bagaimana,” tutupnya.
Para pengembang berharap DPD RI bisa menyuarakan persoalan ini ke pemerintah pusat. Mereka ingin program 3 juta rumah tidak hanya menjadi janji politik, tetapi benar-benar dilandasi perencanaan teknis, anggaran, dan regulasi yang matang agar tidak menimbulkan disorientasi di pasar dan lapangan.