SURABAYA – Maraknya praktik prostitusi di Kota Pahlawan kembali mencuat, setelah petugas melakukan penggerebekan di kawasan eks lokalisasi Dolly pada Minggu (16/11). Fenomena ini mendapat sorotan tajam dari Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko.
Menurutnya, kondisi tersebut mengancam moral generasi muda serta mencederai reputasi Surabaya sebagai kota yang pernah berhasil menutup kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
“Kami berulang kali mengingatkan kepada Pemkot Surabaya melalui Satpol PP serta Bapemkesra yang membawahi lurah dan camat untuk tegas menindak apabila ada tempat yang ditengarai menjadi lokasi prostitusi,” ujarnya pada Senin (17/11).
Cak Yebe sapaan akrabnya ini menjelaskan, bahwa praktik prostitusi kini berkembang dalam berbagai bentuk, baik konvensional maupun berbasis digital. Ia menyebut sejumlah titik yang masih beroperasi meskipun telah berulang kali ditertibkan, termasuk kawasan Moroseneng.
Pada Oktober 2025, kawasan tersebut dilaporkan masih memerlukan patroli intensif oleh Satpol PP Kecamatan Benowo mulai pukul 23.00 hingga 04.00 WIB setiap hari.
“Termasuk tempat pijat tradisional berizin Pelayanan Kesehatan Tradisional serta penginapan yang diduga dipakai sebagai layanan prostitusi online,” jelasnya.
Selain itu, kawasan eks Dolly kembali menjadi fokus operasi pada 16 November 2025. Dalam penindakan tersebut, petugas mengamankan dua pekerja seks komersial (PSK) serta dua mucikari di sekitar Gang Dolly, Putat Jaya Timur III B.
“Masih banyak rumah kos dan wisma yang meskipun tertutup secara formal, tetap digunakan untuk aktivitas prostitusi terselubung,” tegas Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya ini.
Cak Yebe menegaskan, regulasi yang ada sudah sangat jelas mengatur sanksi terhadap praktik prostitusi, mulai dari Pasal 296 KUHP (pidana hingga 1 tahun 4 bulan), Pasal 506 KUHP (kurungan hingga 1 tahun), UU ITE (pidana hingga 6 tahun atau denda Rp1 miliar), hingga UU TPPO (pidana 3–15 tahun dan denda Rp120–600 juta).
“Maraknya praktik prostitusi terselubung baik konvensional maupun melalui platform digital jelas merupakan pelanggaran hukum,” tegasnya.
Ia melanjutkan, Surabaya sebagai kota besar memang rentan terhadap aktivitas prostitusi. Namun situasi ini harus dijawab dengan langkah tegas dan konsisten dari seluruh perangkat pemerintahan, disertai dukungan penuh masyarakat.
“Kesadaran, komitmen, dan konsistensi semua pihak sangat diperlukan untuk mewujudkan Surabaya bebas prostitusi. Tanpa itu, upaya yang dilakukan akan sia-sia,” ungkap Cak Yebe.
Lebih lanjut ia mengingatkan, bahwa prostitusi membawa dampak besar terhadap moral generasi muda dan citra Surabaya secara keseluruhan. Penutupan Dolly pada era Tri Rismaharini disebut sebagai simbol keberhasilan Surabaya menjaga marwah kota.
“Dampak prostitusi sangat merusak moral generasi muda dan wajah Surabaya. Penutupan Dolly dahulu menjadi prestasi yang menghapus label Surabaya sebagai kota dengan wisata esek-esek terbesar di Indonesia,” pungkasnya.