HarianMetro.co, Jakarta – Jum’at 13 Jumi 2025 – Dalam diskusi nasional yang diselenggarakan oleh PB HMI Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan bertajuk “Dinamika dan Dialektika Nasional: Jalan Panjang Penegakan Hukum dan Reformasi Tata Kelola Pertambangan Nasional”, isu eksploitasi sumber daya alam dan lemahnya pengawasan terhadap korporasi menjadi fokus perhatian.

Isu terkini di Raja Ampat yang berujung pada pencabutan izin tambang secara tegas oleh negara, menjadi inspirasi untuk meninjau ulang berbagai praktik serupa di daerah lain—khususnya di wilayah yang luput dari sorotan nasional.
Salah satu suara kritis dalam diskusi ini datang dari Zulfikar S. Daday, pemuda asal Desa Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, yang sekarang melanjutkan studi S2 di Jakarta. Ia mengangkat permasalahan mendalam yang kini mengancam keberlanjutan lingkungan di tanah kelahirannya.

“Hiruk pikuk penambangan yang tidak terkontrol di Pohuwato telah mengubah bentang alam menjadi ring pertarungan korporasi. Hutan bukan lagi paru-paru, tapi dianggap lahan kosong siap ditebas,” tegas Zulfikar dalam forum tersebut.

Provinsi Gorontalo, yang dikenal sebagai Bumi Serambi Madinah, kini menghadapi ancaman serius terhadap kelestarian ekologisnya. Berdasarkan data yang dipaparkan, hutan alam yang tersisa di Gorontalo hanya sekitar 693.795 hektare.

Ironisnya, dalam rentang waktu 2017–2023 saja, telah terjadi deforestasi seluas 35.770,36 hektare.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ada 10 izin konsesi hutan dengan total luas 282.100 hektare yang direncanakan untuk proyek bioenergi.

Di antaranya, enam konsesi Hutan Tanaman Energi (HTE) yang mencakup sekitar 180 ribu hektare, tersebar di Kabupaten Pohuwato, Boalemo, dan Gorontalo Utara.

Berikut daftar enam perusahaan yang disebut:

  • PT. Hutani Cipta (7.800 Ha)
  • PT. Keia Lestari Indonesia 1 (41.000 Ha)
  • PT. Lumintu Ageng Joyo (38.000 Ha)
  • PT. Keia Lestari Indonesia 2 (43.000 Ha)
  • PT. Nawa Waskita Utama (41.000 Ha)
  • PT. Sorbu Agro Energi (9.800 Ha)

Konsesi ini sebagian besar berada di area eks-HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang telah habis masa berlakunya. Artinya, eksploitasi ini tidak hanya melanjutkan warisan kerusakan, tapi juga mengkapling ulang tanah-tanah yang seharusnya direhabilitasi.

Analisis dari Trend Asia mencatat bahwa antara tahun 2020 hingga 2024, Kabupaten Pohuwato kehilangan lebih dari 17 ribu hektare hutan, sebagian besar disebabkan oleh ekspansi kebun kayu energi. Alih-alih menjadi solusi energi terbarukan, proyek ini justru mempercepat laju deforestasi dan meningkatkan kerentanan terhadap bencana.

“Alih fungsi hutan untuk industri bioenergi tidak hanya menipu atas nama keberlanjutan, tapi juga mempercepat kehancuran ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat,” ujar Zulfikar.

Kabupaten Pohuwato, terutama wilayah Popayato, Popayato Barat, dan Popayato Timur, kerap menjadi langganan banjir bandang. Setiap tahun, permukiman warga dan jalanan utama terendam. Aktivitas industri dan pembukaan lahan menjadi penyebab utama kerusakan daerah tangkapan air.

Dalam forum tersebut, Zulfikar secara khusus mengarahkan seruannya kepada Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya untuk segera meninjau ulang keberadaan sejumlah perusahaan yang diduga melakukan aktivitas ilegal di Pohuwato. Di antaranya, PT. IGL, PT. LIL, dan entitas lainnya yang disinyalir tidak mengantongi izin resmi.

Zulfikar juga menagih tanggung jawab Rusli Habibie, wakil Gorontalo di Komisi XII, untuk tidak menutup mata terhadap realitas ini. Ia menyebutkan pentingnya membentuk panitia kerja (panja) atau tim investigasi khusus guna mengevaluasi izin-izin yang telah terbit dan potensi pelanggaran hukum oleh korporasi.

“Ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini soal keselamatan warga, keadilan ekologis, dan keberlanjutan hidup masyarakat adat serta petani lokal yang bergantung pada alam,” pungkas Zulfikar.

Gorontalo kini berada di persimpangan: antara mempercepat pembangunan atau mengorbankan masa depan ekologisnya. Perlu adanya moratorium izin baru, audit lingkungan menyeluruh, dan penguatan pengawasan oleh negara. Tanpa langkah tegas, bukan tidak mungkin Gorontalo akan menyusul jejak wilayah lain yang kehilangan identitas ekologisnya akibat rakusnya industri.

Penulis : Zulfikar S Daday

Penerbit : HM

Artikel Darurat Hutan Gorontalo: Korporasi Masuk, Banjir dan Deforestasi Tak Terbendung pertama kali tampil pada HARIAN METRO.