SURABAYA – Maraknya judi online (judol) dan pinjaman online ilegal (pinjol) di Jawa Timur dinilai sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2024, Jawa Timur menempati peringkat keempat terbanyak pemain judol di Indonesia dengan perputaran uang mencapai Rp1 triliun.
Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur, Dedi Irwansyah, menilai kondisi ekonomi yang semakin terjepit telah mendorong masyarakat mencari jalan pintas melalui praktik judol dan pinjol. Hal itu, kata dia, diperparah dengan masifnya iklan di media sosial yang menyusup ke ruang pikir publik.
“Ini sudah menjadi keprihatinan kami dari Komisi A DPRD Jatim. Bahkan sejak awal kami dilantik, kami sudah mempersiapkan rancangan agar ruang digital kita menjadi ruang yang positif dan bijak dalam penggunaannya,” ujar Dedi, Kamis, (11/6).
Komisi A, lanjut Dedi, sempat mengusulkan pembentukan perda terkait judol dan pinjol ilegal. Namun, usulan itu terbentur pada batas kewenangan pemerintah daerah karena praktik tersebut masuk dalam ranah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
“Ini domainnya dari Kominfo, sehingga kami DPRD Jatim tidak bisa serta merta langsung membuat perda tentang judol dan pinjol,” jelasnya.
Dedi mengungkapkan, berdasarkan data yang mereka himpun, sebanyak 70 persen pelaku judi online juga merupakan pengguna pinjol ilegal.
“Judol dan pinjol ini ada relevansinya. Orang melakukan pinjol digunakan untuk bermain judol dengan harapan uang bertambah,” katanya.
Lebih mencemaskan lagi, DPRD Jatim mencatat bahwa hampir 30 persen pengguna judi online berasal dari kelompok usia sekolah, dengan pengguna termuda tercatat berusia 14 tahun.
“Tentu ini sangat memprihatinkan. Bagaimana generasi muda kita yang akan meneruskan masa depan bangsa justru kecanduan judol dan pinjol, sementara mereka belum paham betul bahayanya,” tegas politisi Partai Demokrat itu.
Dedi bahkan mengutip pernyataan koleganya di DPRD Jatim yang menyebut bahwa praktik judol dan pinjol telah menjadi bencana sosial.
“Sehingga kemudian judol dan pinjol ilegal ini sudah menjadi keprihatinan dan perbincangan bersama, baik di pemerintah pusat maupun di Jatim, khususnya kami di DPRD Jatim,” ujarnya.
Karena tak memiliki wewenang membuat perda khusus, DPRD Jatim kini mendorong revisi Perda Ketertiban Umum (Trantibum) sebagai respons atas semakin merebaknya kasus judol dan pinjol di wilayahnya.
“Kami sudah mempersiapkan rancangannya untuk memasukkan secara khusus unsur judol dan pinjol, atau mungkin nanti bisa berkembang lebih lanjut,” katanya.
Dedi berharap masyarakat bisa lebih bijak menggunakan teknologi dan tidak terjebak dalam ruang digital yang destruktif.
“Bijaklah dalam mempergunakan ruang digital, sehingga kita bisa memahami bahwa teknologi ini merupakan alat bantu yang memudahkan kehidupan. Jangan sampai kita terjerumus dalam teknologi,” tutupnya.