SURABAYA – Gerakan Muda Produktif (GMP) menyoroti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkap sejumlah kejanggalan serius dalam pelaksanaan proyek infrastruktur oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur.
Ketua GMP Yakin, mengatakan audit BPK terhadap belanja daerah menunjukkan berbagai kelemahan mendasar, mulai dari perencanaan yang buruk hingga indikasi kuat praktik nepotisme dan pemborosan anggaran. Masalah pertama ditemukan pada penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta perencanaan proyek yang dinilai belum memadai di tiga satuan kerja perangkat daerah.
“Salah satu contohnya adalah proyek pembangunan Instalasi Budidaya Tambak (IBT) Boncong di Kabupaten Tuban yang dirancang oleh CV IRK berdasarkan kontrak tertanggal 17 Juli 2018,” ungkap Ketua GMP, Yakin, Rabu (18/6).
Menurut Yakin, proyek tersebut telah dibayar lunas senilai Rp49.920.000. Hal serupa juga terjadi pada proyek IBT di Bangkalan yang dikerjakan CV RBK dengan nilai kontrak Rp99.825.000. Namun, ditemukan bahwa personel perencana untuk kedua proyek tersebut merupakan individu yang sama bertentangan dengan ketentuan pengadaan jasa konsultan.
“Pemeriksaan dokumen HPS, penawaran konsultan, hingga wawancara dengan salah satu personel pada 28 November 2019, menguatkan dugaan bahwa proses perencanaan tidak memenuhi standar kualifikasi yang disyaratkan,” tegas Yakin.
Tak hanya itu, dalam pemeriksaan terhadap sepuluh paket proyek pembangunan pelabuhan dan bangunan lainnya, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp426.061.729,32. Salah satu proyek bahkan tidak sesuai spesifikasi kontrak, menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp199.703.250,00.
“Dua paket pekerjaan mengalami keterlambatan penyelesaian cukup signifikan, dengan denda keterlambatan minimal sebesar Rp531.885.238,00. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap proyek-proyek yang dibiayai oleh APBD,” lanjutnya.
GMP juga menyoroti banyaknya aset milik DKP Jatim yang tidak dimanfaatkan, padahal bisa digunakan untuk menunjang kegiatan budidaya dan pelayanan publik. Di sisi lain, sejumlah pegawai DKP Jatim berasal dari mutasi Dinas PU SDA, tanpa latar belakang di bidang kelautan dan perikanan.
“Ironisnya, struktur internal DKP juga diduga kuat dipenuhi praktik nepotisme. Banyak pejabat memiliki hubungan kekerabatan atau kedekatan personal, menciptakan lingkungan kerja yang tertutup dan rentan terhadap penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Yang paling mencengangkan, lanjut Yakin, DKP Jatim diketahui menghabiskan anggaran hingga puluhan miliar rupiah hanya untuk proyek-proyek konsultan, tanpa dampak nyata bagi masyarakat pesisir dan pelaku usaha perikanan.
“Temuan-temuan ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi membuka ruang terhadap dugaan pelanggaran hukum yang harus diselidiki lebih lanjut. Kami mendorong keterlibatan KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk mendalami potensi tindak pidana korupsi sesuai UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tegasnya.
Yakin juga mendesak dilakukan pembenahan secara sistemik di tubuh DKP Jatim melalui penguatan pengawasan internal, audit berkala, hingga restrukturisasi organisasi untuk mencegah praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) berulang.
“Kita butuh sistem yang memastikan anggaran negara digunakan secara tepat guna untuk masyarakat, bukan untuk memperkaya kelompok tertentu atau didominasi relasi kekuasaan,” tutupnya.