HarianMetro.co, GORONTALO – Setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebagai simbol awal kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya persatuan dan perjuangan. Momen ini menandai berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, tonggak awal pergerakan nasional. Tapi kini, lebih dari seabad kemudian, kita perlu bertanya dengan jujur: benarkah kita telah “bangkit”? Ataukah kita hanya sekadar memperingati masa lalu, sementara kita tertidur dalam kenyataan hari ini yang penuh persoalan?

Bangkit, Tapi Menuju ke Mana?

Kebangkitan nasional sejatinya adalah tentang arah dan tujuan. Namun, hari ini, kebangkitan itu terasa kabur. Kita melihat negeri ini bergerak, namun tak pasti kemana. Di satu sisi, kita bangga dengan pembangunan fisik: gedung pencakar langit, jalan tol, bandara, dan digitalisasi. Tapi di sisi lain, kita juga menyaksikan ironi yang menyayat: korupsi yang membudaya, pendidikan yang makin mahal dan tidak merata, anak muda yang kehilangan daya kritis, serta makin rapuhnya solidaritas sosial.

Perayaan Hari Kebangkitan Nasional kerap keli terjebak dalam rutinitas upacara dan slogan. Kita rajin mengulang kata-kata “persatuan” dan “perjuangan”, tetapi lupa menggali makna perjuangan itu sendiri. Bukankah perjuangan hari ini seharusnya berarti keberanian untuk jujur di tengah banjir disinformasi? Dan berpihak pada yang lemah, bukan memuja yang kuat?

Ketika Kebangkitan Dikendalikan Sistem

Dalam realitas politik kita, kebangkitan seringkali diklaim oleh penguasa. Semangatnya diatur, nadanya disesuaikan, bahkan maknanya dikerdilkan agar tidak membahayakan stabilitas yang dibangun secara semu. Seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, sistem hegemonik membuat masyarakat menerima tatanan yang tidak adil seolah-oleh itu wajar. Narasi kebangkitan disulap menjadi instrumen kekuasaan, bukan pembebasan.

Maka, pertanyaannya: apakah rakyat benar-benar merdeka dalam berpikir? Atau kita hanya menjalankan peran yang sudah ditentukan oleh elite, mengikuti alur yang telah diskenariokan demi kepentingan politik jangka pendek?

Kebangkitan sejati tidak mungkin tumbuh dalam sistem yang membungkam kritik dan menghukum perbedaan pendapat. Kebangkitan sejati lahir dari ruang-ruang kebebasan: ruang untuk bertanya, berdiskusi, bahkan membantah.

Kebangkitan sebagai Proses Kesadaran

Dalam filsafat Hegel, kebangkitan adalah proses dialektika antara realitas dan kesadaran, antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa belajar dari masa lalu, menghadapi kontradiksi hari ini, dan bergerak maju menuju masa depan dengan sintesis baru. Jika kita hanya mengulang-ulang simbol masa lalu tanpa refleksi kritis, maka kita tidak sedang bangkit, tapi sedang berjalan mundur dengan wajah menghadap ke depan.

Paulo Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis—yaitu kesadaran untuk melihat dunia secara utuh, memahami ketidakadilan struktural, dan mengambil tindakan. Hari Kebangkitan Nasional harusnya mendorong kita untuk bertanya: mengapa kemiskinan masih tinggi? Mengapa anak-anak di daerah tertinggal harus berjuang keras hanya untuk belajar? Mengapa suara rakyat kecil sering kali tidak didengar?

Kita tidak butuh lagi nasionalisme kosong yang hanya menjadi hiasan pidato. Kita butuh nasionalisme yang membebaskan, seperti yang dicita-citakan Freire: nasionlisme yang lahir dari pemahaman mendalam atas ketimpangan, dan keberanian untuk mengubahnya.

Menjadi Manusia yang Sadar

Immanuel Kant menyebut pencerahan sebagai “keluar dari ketidakdewasaan yang diciptakan oleh diri sendiri”. Ini terjadi ketika kita terlalu takut untuk berpikir sendiri, atau justru menanamkan kepatuhan yang membunuh kreativitas?

Frantz Fanon mengingatkan bahwa pembebasan sejati bangsa pascakolonial tidak cukup hanya dengan kemerdekaan politik. Harus ada pembebasan mental dan sosial. saat ini, kita masih sering mengulang pola kolonialisme gaya baru: kekuasaan terpusat, ekonomi oligarkis, dan rekyat dijadikan objek pembangunan. Fanon akan bertanya kepada kita: apakah kita sudah benar-benar bebas, atau hanya berpindah dari penjajah asing ke penindas lokal?

Friedrich Nietzsche berbicara tentang Ubermensch—sosok manusia yang mampu melampaui nilai-nilai lama dan mencipta arah hidup baru. Dalam konteks bangsa, Ubermensch adalah simbol dari generasi yang tidak hanya mengulang slogan lama, tapi berani mencipta narasi baru: tentang keadilan, kebebasan, dan solidaritas. Pertanyaannya, sanggupkah kita?

Kebangkitan sebagai Tanggung Jawab Moral

Hari Kebangkitan Nasional bukanlah seremoni kosong. Ia harus menjadi alaram bagi kesadaran kita bersama: apakah kita masih setia pada cita-cita kemerdekaan? Apakah kita sudah cukup jujur melihat kenyataan, dan cukup berani mengubahnya?

Kebangkitan bukanlah titik, tapi garis panjang. Ia menuntut konsistensi, kebenaran, dan kerendahan hati untuk terus belajar, memperbaiki, dan memperjuangkan. Jika tidak, maka kita hanya akan merayakan kebangkitan secara simbolik, sementara pikiran dan nurani kita tetap terlelap dalam kenyamanan semu.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling banyak memperingati sejarah, tetapi yang paling mampu belajar darinya.

Pada akhirnya, Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar soal mengenang masa lalu, melainkan tentang menantang masa kini dan menata masa depan. Bangsa yang benar-benar bangkit adalah bangsa yang berani melihat ke dalam dirinya sendiri-jujur pada luka, sedar akan kelemahan, dan bersedia berubah.

Kebangkitan sejati lahir dari kesadaran, bukan seremoni; dari keberanian berpikir, bukan kepatuhan membisu; dari aksi nyata, bukan wacana hampa. Maka, pertanyaannya tetap relevan: apakah kita sedang benar-benar bangkit atau hanya tidur dalam ucapan yang indah namun kosong makna?

Penulis : Zulfikar S. Daday, S.M. (Koordinator SDM Motoliango Literasi)
Penerbit : HM

Artikel Hari Kebangkitan Nasional:Sebuah Renungan Folosofis Tentang Bangsa yang Terjaga atau Tertidur pertama kali tampil pada HARIAN METRO.