Aktivitas tambang emas ilegal di kawasan Hutan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, kini menjadi sorotan publik. Meskipun sudah berulang kali ditertibkan oleh Tim Gabungan, praktik ilegal ini masih terus berlangsung.
Aktivitas tambang emas ilegal di kawasan Hutan Boliyohuto berada di atas izin usaha pertambangan (IUP) milik PT Lion Global Energi (LGE), salah satu anak perusahaan Sugico Grup,pemindahtanganan IUP secara tidak profesional diduga menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai masalah dilokasi IUP milik PT Lion Global Energi (LGE) yang dikelola oleh pihak lain, mulai dari pencemaran dan kerusakan lingkungan, dugaan manipulasi dokumen, konflik sosial, hingga proses hukum.
Meski disebut mengantongi izin tambang 4.981 hektare di Desa Tamaila, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo, PT LGE tak memiliki izin persetujuan penggunaan kawasan hutan (IPPKH) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izinnya juga disebut tumpang tindih dengan konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Gorontalo Citra Lestari.
Sementara itu, PT LGE, PT LPE dan PT LMR diketahui belum membayar jaminan reklamasi berdasarkan Surat Dirjen Minerba No. T-2241/MB.07/DJB.T/2024. Anak-anak usaha Sugico ini dijatuhi sanksi administratif pertama oleh Dirjen Minerba per 10 Desember 2024 yang akan berakhir dalam 30 hari ke depan.
Sebagai informasi, IUP Grup Sugico dikelola oleh empat bersaudara, yakni Inneke Wiratirana selaku pengendali seluruh IUP warisan dari suaminya almarhum Kokos Jiang, Ivan Wiratirana selaku pengelola seluruh IUP, Eric Wiratirana sebagai pengendali keuangan perusahaan, dan Roy Wiratirana menjadi Dirut di beberapa perusahaan pemegang IUP.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cq Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) diminta menindak Grup Sugico yang diduga tidak mengelola Izin Usaha Pertambangan (IUP) secara profesional sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga merusak lingkungan dan merugikan negara.
Informasi yang dihimpun redaksi dari berbagai sumber mengungkapkan, hampir semua IUP yang dikuasai Grup Sugico tidak dikelola secara mandiri dan profesional, melainkan ‘disewakan’ ke pihak lain untuk mendapatkan imbalan atau fee.
Informasi itu menyebutkan, pihak-pihak yang ‘menyewa’ IUP Grup Sugico melakukan eksploitasi secara sporadis tanpa legalitas memadai dan umumnya jangka pendek. Ketika tambang dinilai tidak menguntungkan lagi, mereka meninggalkan lokasi dalam kondisi apa adanya.
Atas penggunaan IUP-nya, Grup Sugico disebut meminta uang sewa di muka atau fee sekitar 2-3 dolar AS per ton. Sistem ijon IUP ini diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa penindakan dari instansi berwenang dan penegak hukum.
(baca : https://infomediakota.com/sugico-grup-diduga-lakukan-praktik-ijon-iup-kejagung-diminta-bertindak-cepat/)
Tidak hanya itu, banyak IUP Grup Sugico yang mati atau berakhir akibat tidak aktif lebih dari tiga tahun. Selain Amdal kadaluarsa, perencanaan atau feasibility study (studi kelayakan) sudah tidak relevan dan dokumen tidak diperbarui oleh perusahaan.
IUP-IUP tersebut juga diduga tidak membayar kewajiban kepada negara selama bertahun-tahun, seperti land rent, jaminan reklamasi, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan lain-lain. Nilai kewajibannya diperkirakan cukup besar mengingat Grup Sugico dikabarkan menguasai lebih dari 200 IUP.
Kejaksaan Tinggi Gorontalo Diminta Mengusut Dugaan Korupsi Terkait IUP milik PT Lion Global Energi
Menanggapi hal tersebut, Yusuf Rajak aktivis lingkungan Provinsi Gorontalo meminta Kejaksaan Tinggi Gorontalo turun tangan mengusut dugaan Korupsi yang terjadi di lokasi IUP milik PT Lion Global Energi (LGE) yang berada di Kabupaten Gorontalo.
Menurut Yusuf, praktik penyewaan IUP rentan disalahgunakan untuk penambangan ilegal dan menghindari pajak.
“Pemegang IUP boleh saja bekerja sama dengan pihak lain melalui joint operation atau lainnya, tetapi harus secara profesional. Mereka memikul tanggung jawab besar terhadap lingkungan, masyarakat, dan negara ini. Jadi tidak boleh serampangan menyewakan atau mengalihkan IUP ke pihak lain” ujarnya.
Yusuf juga mengingatkan pengalihan atau pemindahtanganan IUP dan IUP Khusus (IUPK) kepada pihak lain dilarang tanpa persetujuan Menteri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 93 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Menteri dapat memberikan persetujuan pemindahtanganan IUP/IUPK setelah dipenuhi persyaratan, paling sedikit setelah selesai melakukan eksplorasi yang dibuktikan dengan ketersediaan data sumber daya dan cadangan, serta memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial,” jelasnya.
Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 93 UU No. 3/2020 terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 69 Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 69, dan Pasal 70 PP tersebut, persyaratan dalam rangka persetujuan pemindahtanganan IUP/IUPK ditambah satu persyaratan lagi terkait calon penerima pemindahtanganan.
“Pertanyaannya, apakah perusahaan itu (Grup Sugico) sudah mendapatkan persetujuan Menteri dan memenuhi persyaratan, sedangkan banyak IUP nya yang sudah tidak aktif lebih dari tiga tahun. Lalu apakah pihak lain yang dimaksud juga telah memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial,” pungkas Yusuf.