Melompati Jurang Layanan Publik
Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam digitalisasi dan kinerja ASN, tantangan dalam aspek integritas masih menjadi sorotan, seperti data dari Transparency International Indonesia – TII (2020). Survei TII (2020) menempatkan Indonesia di peringkat ketiga di Asia terkait tingkat suap yang dialami warga dalam mengakses layanan publik (di bawah India dan Kamboja).
Data ini menggarisbawahi adanya kesenjangan serius antara kualitas layanan (digital) yang baik dengan integritas layanan tatap muka (atau gap of service dalam dimensi etika).
Padahal kualitas layanan publik adalah fondasi penting dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Namun, tak jarang kita melihat adanya jurang antara harapan masyarakat dengan realitas layanan yang diterima.
Kesenjangan ini secara langsung mengikis kepercayaan publik (public trust), yang merupakan aset tak ternilai bagi pemerintah. Ketika layanan terasa lambat, berbelit, atau tidak adil, tingkat kepuasan publik pun akan merosot tajam.
Lantas, bagaimana cara melompati jurang ini dan mengembalikan keyakinan publik? Jawabannya terletak pada kesediaan untuk berubah dan bertindak melampaui kebiasaan lama. Pemerintah hendaknya berani menciptakan terobosan (breakthrough) signifikan dalam cara kerja mereka.
Terobosan ini tidak muncul dari ruang hampa, melainkan dari semangat inovasi yang berkelanjutan, menciptakan metode, sistem, atau bahkan aplikasi tertentu (meskipun tidak harus) yang membuat proses pelayanan menjadi lebih cepat, transparan, dan berpusat pada kebutuhan warga.
Inovasi saja tidak cukup; ia harus diperkuat dengan kolaborasi yang solid. Kolaborasi ini melibatkan sinergi antara berbagai instansi pemerintah, sektor swasta, dan yang paling penting, masyarakat sipil itu sendiri.
Dengan berkolaborasi, sumber daya dapat dioptimalkan, dan solusi yang dihasilkan akan lebih relevan dan berkelanjutan.
Peningkatan kualitas layanan adalah jalan tol menuju pulihnya kepercayaan publik. Ini merupakan investasi fundamental, bukan sekadar kewajiban prosedural.
Di era digital dan keterbukaan informasi ini, ekspektasi masyarakat terhadap pemerintah jauh melampaui sekadar ketersediaan layanan. Kualitas layanan harus didefinisikan ulang, dari sekadar output administratif menjadi dampak nyata yang dirasakan langsung oleh warga.
Inovasi ini tidak dapat lagi menjadi inisiatif yang terisolasi; ia hendaknya menjadi budaya organisasi yang tertanam kuat. Implementasi teknologi mutakhir, penyederhanaan birokrasi, dan desain layanan yang berpusat pada pengguna (user-centric) adalah pilar-pilar penting.
Kolaborasi erat yang dimaksud harus melibatkan seluruh ekosistem: dari internal lintas-sektor pemerintah, hingga pihak swasta, akademisi, dan yang paling krusial, masyarakat sebagai co-creator layanan. Umpan balik dan keluhan warga semestinya dilihat sebagai data berharga untuk perbaikan, bukan sebagai kritik yang harus dihindari.
Mencapai Servant State, Menggapai Public Trust
Pemerintah yang berani berinovasi dan berkolaborasi akan berhasil menutup kesenjangan pelayanan publik. Ini merupakan sebuah celah lebar yang selama ini sering menjadi sumber frustrasi, ketidakpuasan, bahkan sinisme di mata masyarakat.
Kesenjangan ini bukan hanya sekadar teknis, melainkan ‘jurang keyakinan’ yang tercipta antara janji politik dan realisasi di lapangan, antara prosedur birokrasi yang rigid dan lamban melawan kebutuhan warga negara yang dinamis, mendesak, dan serba cepat di era modern.
Jurang tersebut harus diatasi secara fundamental, bukan sekadar tambal sulam, melainkan melalui solusi yang adaptif dan disruptif. Solusi yang dimaksud tidak hanya mengikuti tren, tetapi juga berani mendefinisikannya.
Keberanian untuk mendisrupsi proses lama, menghapus lapisan birokrasi yang tidak perlu, serta mengadopsi sistem kerja-teknologi (digital) secara menyeluruh dan cerdas menjadi kunci transformasi ini.
Inovasi yang sejati terwujud ketika pemerintah membuka diri untuk berkolaborasi secara holistik, menganggap masyarakat sipil, sektor swasta, dan akademisi bukan sebagai pengawas, melainkan sebagai mitra desain layanan (co-designer).
Melalui pendekatan ini, layanan publik dapat dirancang ulang dari perspektif pengguna, menjadikannya lebih relevan, mudah diakses, dan manusiawi. Dengan demikian, pemerintah akan secara organik mengubah keraguan yang selama ini membebani menjadi keyakinan yang kokoh, dan mereduksi tumpukan keluhan menjadi apresiasi yang tulus dari rakyatnya.
Kepercayaan publik pada akhirnya menjadi modal sosial terkuat bagi keberlanjutan pembangunan nasional. Modal sosial adalah energi kolektif yang menggerakkan partisipasi aktif warga, kesediaan untuk patuh pada hukum, dan komitmen untuk mendukung agenda-agenda pemerintah, bahkan yang terasa sulit. Ketika masyarakat meyakini integritas dan kapabilitas pemerintah, resistensi terhadap perubahan akan berkurang drastis.
Tanpa kepercayaan ini, setiap kebijakan dan program, seoptimal apa pun desainnya, akan menghadapi hambatan implementasi yang signifikan.
Ketidakpercayaan publik akan menjelma menjadi penolakan diam-diam, kepatuhan yang setengah hati, atau bahkan sabotase informal. Program-program strategis akan terhenti di tengah jalan karena kurangnya dukungan dan partisipasi publik yang menjadi penerima manfaat sekaligus subjek dari program tersebut.
Intinya, layanan publik yang prima, efisien, dan inklusif bukan hanya sekadar indikator kinerja untuk dipamerkan dalam laporan tahunan, bahkan dikompetisikan.
Layanan tersebut adalah manifestasi riil dari eksistensi negara yang menjalankan fungsi utamanya. Kehadiran negara yang efektif ditunjukkan dengan sikap yang tidak hanya sekadar memerintah dan mengatur, tetapi benar-benar melayani, melindungi, dan memberdayakan seluruh rakyatnya tanpa kecuali.
Ini berarti memastikan bahwa setiap warga negara, terlepas dari latar belakang sosial, geografis, atau ekonominya, memiliki akses yang sama terhadap peluang dan keadilan.
Melalui excellent service, pemerintah menciptakan iklim di mana setiap warga merasa didukung untuk mencapai potensi penuh mereka. Layanan publik tidak lagi dipandang sebagai sekadar transaksi administrasi yang ‘dingin’, melainkan sebagai perwujudan martabat dan pengakuan negara terhadap hak-hak fundamental individu.
Pelayanan yang berkualitas menyingkirkan kendala birokrasi yang mematikan inisiatif. Dengan hilangnya hambatan tersebut, potensi kreatif dan produktif setiap anak bangsa dapat tumbuh-kembang tanpa terhalang diskriminasi atau prosedur yang berbelit (red tape). Kondisi ini adalah prasyarat mutlak yang wajib dipenuhi terlebih dahulu untuk terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan berdaya saing global.
*)Oleh: Mochamad Chazienul Ulum, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)