SURABAYA – Anggota Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono, menyoroti keluhan warga terkait, tingginya beban Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dinilai tidak sebanding dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) maupun harga pasar.
Menurut sejumlah warga, kebijakan pajak saat ini tidak adil karena tidak mempertimbangkan kondisi aktual kendaraan.
“Mobil saya sudah berusia lebih dari 10 tahun, harga jualnya di pasaran jelas turun, tapi pajaknya tidak berkurang signifikan. Bahkan rasanya pajak tidak pernah turun,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya, pada Kamis (2/10).
Faktor depresiasi kendaraan juga menjadi sorotan. Kendaraan yang sudah tua atau pernah mengalami kerusakan nilainya tentu jauh di bawah NJKB, namun kondisi itu tidak tercermin dalam perhitungan pajak.
“Seharusnya ada koreksi khusus untuk kendaraan bekas yang nilainya sudah jatuh, supaya pajaknya lebih proporsional,” tambah warga lain.
Selain itu, warga juga menilai opsen dan pajak progresif memberatkan. Bagi mereka yang memiliki lebih dari satu kendaraan, tarif pajak bisa berlipat ganda, meski nilai kendaraan kedua atau ketiga tidak sebanding dengan jumlah pajak yang harus dibayar.
“Kebijakan progresif memang untuk menekan kepemilikan kendaraan berlebih, tapi kenyataannya justru membebani masyarakat kelas menengah,” paparnya.
Menurut Buleks sapaan akrabnya, hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Sebab, selain pajak pokok, masyarakat masih harus menanggung biaya tambahan seperti SWDKLLJ, penerbitan STNK, hingga penggantian pelat nomor.
“Kalau semua digabung, wajar kalau masyarakat merasa berat. DPRD akan mendorong agar regulasi diperbaiki supaya pajak lebih adil dan rasional,” jelasnya Ketua Fraksi PDI-P di DPRD Surabaya.
Ia menegaskan, persepsi publik bahwa pajak kendaraan “tidak pernah turun” harus dijawab dengan kebijakan konkret. “Pajak harus seimbang dengan kemampuan masyarakat dan nilai kendaraan. Kalau tidak, warga akan terus merasa diperas,” pungkasnya.