SURABAYA – Kisah tragis dialami oleh salah satu warga Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan, yang diduga tidak mendapatkan penanganan cepat dari Puskesmas Dupak maupun layanan darurat Command Center 112. Peristiwa ini mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, Zuhrotul Mar’ah.
Zuhrotul menjelaskan, berdasarkan keterangan dari pihak keluarga, insiden bermula saat mereka mendatangi Puskesmas Dupak sekitar pukul 09.00 WIB untuk meminta pertolongan darurat. Namun, mereka justru diarahkan untuk menghubungi layanan darurat 112.
“Keluarga mengaku telah menelepon 112, tetapi tidak mendapat respons cepat. Telepon hanya berdering tanpa ada jawaban. Baru setelah dibantu oleh warga sekitar, ambulans datang sekitar pukul 10.30. Sayangnya, nyawa pasien sudah tidak tertolong,” ujar Legislator PAN, Selasa (24/6).
Ia mengaku heran terhadap lambatnya respons layanan 112, yang selama ini dikenal sigap dan responsif. Namun, di sisi lain, pihaknya juga menerima informasi berbeda dari Puskesmas melalui Ketua RW setempat. Berdasarkan rekaman CCTV, suami pasien baru tiba di puskesmas sekitar pukul 10.00 hingga 10.15, bukan pukul 09.00 seperti klaim keluarga.
“Inilah yang harus diluruskan. Mana yang benar? Terlepas dari perbedaan waktu, inti masalahnya adalah penanganan terhadap kondisi gawat darurat. Seharusnya puskesmas tidak lepas tangan, apalagi saat kejadian berlangsung di jam kerja,” tegasnya.
Zuhrotul mengkritik keras sikap Puskesmas Dupak yang dinilai melempar tanggung jawab ke layanan 112. Menurutnya, meski tidak memiliki Unit Gawat Darurat (UGD), puskesmas tetap wajib memberikan pertolongan pertama.
“Ketika ada laporan darurat dari warga, petugas medis harus segera merespons, bukan justru melempar ke 112. Puskesmas harus memiliki tim yang siap turun ke lapangan,” tandasnya.
Ironisnya, lokasi rumah duka dan Puskesmas Dupak berada di lingkungan RW yang sama, yakni RW 5. Fakta ini makin mempertegas sorotan terhadap efektivitas program unggulan Pemerintah Kota Surabaya, yakni Integrasi Layanan Primer (ILP) melalui inovasi 1 RW 1 Tenaga Kesehatan (R1N1).
“Jika program R1N1 berjalan sebagaimana mestinya, seharusnya tenaga kesehatan yang bertugas di RW 5 bisa segera datang dan memberikan pertolongan. Kasus ini menunjukkan bahwa program tersebut belum berjalan optimal,” sentilnya.
Zuhrotul juga menyebut bahwa kasus ini hanyalah “puncak gunung es” dari berbagai keluhan masyarakat terkait layanan kesehatan di Kota Pahlawan.
“Persoalan lain yang kerap kami dengar adalah penolakan rumah sakit terhadap pasien yang tidak memiliki BPJS, padahal Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi telah menegaskan bahwa KTP Surabaya bisa menjadi jaminan,” jelasnya.
Selain itu, aturan baru BPJS yang mewajibkan pasien non-gawat darurat untuk terlebih dahulu melalui puskesmas, juga menambah kebingungan. “Kadang di puskesmas pun pasien ditolak. Situasi seperti inilah yang membuat warga merasa dipingpong dan bingung harus ke mana,” tambahnya.
Sebagai langkah solutif, Komisi D DPRD Kota Surabaya berencana menggelar rapat dengar pendapat (hearing) pada akhir Juni ini, dengan mengundang Dinas Kesehatan serta pihak-pihak terkait lainnya.
“Kami ingin mendengar langsung dari semua pihak agar bisa ada perbaikan nyata ke depan. Layanan kesehatan adalah hak dasar warga. Tidak boleh ada lagi kasus warga kehilangan nyawa karena terlambat ditangani,” pungkasnya.