SURABAYA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Jawa Timur menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses rekonstruksi kematian M. Alfan (18), siswa SMK Mojosari yang ditemukan di Sungai Brantas pada 5 Mei lalu.

Rekonstruksi ulang yang digelar di Desa Kedungmungal, Kecamatan Pungging, Selasa (29/7), justru memperkuat dugaan bahwa pelaku utama bukanlah RF, melainkan Khoiril alias Penceng, ayah dari RF.

“Kami melihat secara jelas dalam rekonstruksi tadi bahwa Khoiril sangat dominan dalam pengejaran terhadap korban. Bahkan jauh lebih aktif dibandingkan Rio. Maka sangat janggal bila hanya Rio yang dijadikan tersangka,” tegas Muhammad Syahid, kuasa hukum LBH Ansor Jatim.

Menurut Syahid, rekonstruksi memperlihatkan bahwa pengejaran terhadap Alfan dan temannya, SA, terjadi segera setelah keduanya keluar dari rumah Khoiril. Saat itu, Khoiril langsung mengejar korban, sedangkan RF menyusul kemudian.

“Apa yang dilakukan Khoiril ini sudah berbentuk pengancaman karena peran inisiatif dan dominasi pengejaran ada pada Khoiril, bukan RF. Bahkan sampai ke area tanaman jagung, tempat terakhir Alfan terlihat,” kata dia.

LBH Ansor Jatim juga mencatat kejanggalan lain: perbedaan waktu penemuan sepatu dan tas korban yang terjadi dalam rekonstruksi dan pra-rekonstruksi. Menurut Syahid, dalam rekonstruksi penemuan sepatu dan tas berlangsung berkesinambungan, sementara pada pra-rekonstruksi terdapat jeda waktu.

“Pada saat pra-rekonstruksi, sepatu dan tas ditemukan sekitar jam 4/5 atau setengah 5-an. Itu juga tidak jelas, apakah jam setengah ke-5 atau kapan tepatnya. Sementara saat rekonstruksi tidak ada jeda. Ini menjadi pertanyaan besar.”

Kontradiksi juga muncul dalam pernyataan waktu antara RF dan Khoiril. Khoiril menyebut kejadian berlangsung sekitar pukul 11.30 WIB, sementara RF menyatakan baru pulang dan melaksanakan salat Ashar sekitar pukul 15.00 WIB.

“Perbedaan waktu ini krusial. Kami menduga ada upaya manipulasi waktu kejadian,” tegas Syahid.

LBH Ansor pun menolak asumsi penyidik yang menyebut Alfan melompat ke sungai. Menurut Syahid, hanya Samsul yang secara eksplisit mengaku melompat. Alfan, kata dia, justru terlihat berlari ke arah semak jagung dan dikejar langsung oleh Khoiril.

“Kalau benar Alfan melompat, seharusnya ada yang mendengar atau melihat. Sungai itu dalam dan tidak jauh dari lokasi ditemukannya sepatu. Tapi tak satu pun saksi mendengar suara atau melihat korban melompat,” ujarnya.

Atas dasar temuan tersebut, LBH Ansor mendesak Polres Mojokerto meninjau kembali penetapan tersangka. Mereka meminta agar Khoiril turut dijerat hukum.

“Setidaknya dengan Pasal 335 KUHP tentang pengancaman atau turut serta dalam tindak kekerasan. Bahkan bisa dikenakan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan atau Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian,” kata Syahid.

Ia menilai penyidik perlu mengambil langkah lebih progresif dalam penanganan perkara ini.

“Jangan hanya berhenti pada Rio. Kejanggalan ini harus diselidiki lebih dalam, dan pasal-pasal tambahan harus diterapkan,” pungkasnya.

Sementara itu, Kasatreskrim Polres Mojokerto, AKP Fauzy Pratama, enggan memberikan keterangan usai rekonstruksi. Saat diminta wawancara oleh wartawan, AKP Fauzy justru mengajak menuju tanggul dan meninggalkan lokasi tanpa penjelasan apa pun terkait substansi rekonstruksi.