OPINI – Kasus dugaan suap dan korupsi di sekitar aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Pohuwato, Gorontalo, mengungkap sebuah anomali menarik.
Para pelaku PETI terkesan lebih terbuka dalam memberikan bukti setoran kepada wartawan dibandingkan kepada aparat kepolisian, khususnya kepada Kapolsek Marisa dan Kapolsek Popayato. Mengapa demikian?
Logika Kekuasaan dan Perlindungan
Jawaban atas pertanyaan ini kemungkinan besar terletak pada perbedaan kekuatan dan perlindungan yang dimiliki oleh kedua pihak.
Wartawan, meski memiliki kekuatan dalam pemberitaan, pada dasarnya adalah individu atau kelompok yang relatif lemah dibandingkan dengan institusi kepolisian yang memiliki otoritas negara.
Para pelaku PETI mungkin melihat wartawan sebagai pihak yang bisa “diajak kerja sama” atau “diamankan” dengan sejumlah uang.
Mereka mungkin merasa lebih mudah untuk “mengendalikan” wartawan melalui setoran, dengan harapan berita negatif tentang aktivitas ilegal mereka tidak dipublikasikan.
Bahkan salah satu saudara kandung dari pengelola PETI terbesar di Kabupaten Pohuwato telah mendirikan media online dan bertransformasi menjadi “wartawan”untuk melindungi aktivitas PETI yang dikelola.
Sementara itu, berurusan dengan kepolisian memiliki risiko yang jauh lebih besar. Polisi memiliki kekuatan untuk melakukan penangkapan, penyidikan, dan penuntutan.
Para pelaku PETI tentu tidak ingin berhadapan dengan konsekuensi hukum yang lebih besar jika ketahuan menyuap aparat kepolisian.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa setoran kepada polisi melibatkan jaringan yang lebih Solid dan terorganisir. Mengungkap praktik ini berarti membuka kotak pandora yang berisiko tinggi bagi para pelaku PETI.
Mereka bisa jadi tidak hanya berhadapan dengan masalah hukum, tetapi juga dengan kekuatan-kekuatan lain yang mungkin lebih besar dan berbahaya.
Tak heran jika ada umpatan yang ditujukan ke media “biar mo bekeng 1000 berita tiap hari tidak ada pengaruhnya”, hal ini tentu bukan sekedar lontaran kata tanpa makna.
Budaya Korupsi yang Mendarah Daging
Fenomena ini juga mencerminkan budaya korupsi yang mungkin sudah mendarah daging di Indonesia. Para pelaku PETI mungkin sudah sangat terbiasa dengan praktik suap dan “main mata” dengan aparat penegak hukum.
Mereka melihat ini sebagai cara yang lazim untuk “mengamankan” bisnis ilegal mereka, dengan komitmen yang telah dibangun melahirkan simbiosis mutualisme silahkan menambang hasil emasnya jual ke sini atau mungkin silahkan menambang setorannya di kumpul ke si anu. Apalagi, jika persoalan PETI di bicarakan di meja makan bersama investor pembeli emas tentulah semua halangan, rintangan dapat di atasi bersama atas nama institusi.
Tuntutan akan Perubahan
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pemberantasan korupsi bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan upaya yang konprehensif dan terstruktur untuk mengatasi masalah ini hingga ke akar-akarnya.
Selain penegakan hukum yang tegas, juga dibutuhkan perubahan pola fikir di kalangan masyarakat, untuk lebih mencintai alam dan lingkungannya karena apapun yang dilakukan dampaknya akan di rasakan oleh masyarakat dilokasi PETI.
Keengganan pelaku PETI untuk mengungkap bukti setoran kepada polisi menunjukkan bahwa ada ketakutan dan perhitungan risiko yang lebih besar dalam berurusan dengan aparat penegak hukum.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa praktik korupsi di sektor PETI melibatkan jaringan yang kompleks dan Solid. Untuk memberantas praktik ilegal ini, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Disisi lain Polri sebagai institusi penegak hukum, telah melakukan pembenahan kedalam dengan memecat anggotanya yang terlibat kasus, tak tanggung tanggung mulai dari pangkat jenderal sampai pangkat terendah telah di pecat karena terlibat berbagai kasus.
Pertanyaan sederhananya apakah Kepolisian di Gorontalo bukan merupakan bagian dari Polisi Republik Indonesia (Polri) ? sehingga setiap kasus yang terjadi hanya diselesaikan melalui klarifikasi oleh Kapolda atau Kapolres, seperti halnya yang sedang viral saat ini.