SURABAYA – Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyoroti maraknya permohonan KTP oleh pendatang yang mencantumkan alamat rumah ibadah seperti gereja atau masjid di Kota Surabaya. Ia mengungkapkan adanya intervensi dari pihak eksternal yang memaksa agar permohonan semacam itu tetap diproses.

“Penggunaan alamat rumah ibadah tidak bisa diizinkan, kecuali untuk pihak yang memang bertugas di sana seperti pendeta atau marbot,” ujarnya, Kamis (15/5).

Yona, yang juga Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya, menilai praktik ini sudah melampaui batas kewajaran dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pendidikan, pekerjaan, hingga akses layanan publik. Ia menegaskan bahwa pemalsuan domisili bertentangan dengan norma dan hukum.

“Kalau jumlahnya banyak dan tujuannya mengelabui sistem administrasi kependudukan, itu tidak bisa dibenarkan,” tambahnya.

Ia juga membantah, anggapan bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 menjadi dasar hukum penggunaan rumah ibadah sebagai alamat KTP.

“PBM itu hanya mengatur pendirian rumah ibadah dan FKUB. Tidak ada yang mengatur soal domisili KTP,” tegasnya.

Yona mencurigai banyak pemohon merupakan pendatang dari luar Surabaya yang tak memiliki alamat tetap, sehingga menggunakan rumah ibadah sebagai alamat administrasi. Meski demikian, ia mengakui bahwa beberapa orang memang tinggal dan bertugas di rumah ibadah, sehingga layak menggunakan alamat tersebut secara sah.

Terakhir, Yona meminta Dispendukcapil Surabaya bersikap tegas terhadap permohonan semacam ini dan tidak terpengaruh tekanan pihak luar. Ia juga mendorong adanya regulasi yang lebih ketat untuk mencegah manipulasi data kependudukan.

“Ini bukan soal SARA, tapi soal ketertiban administrasi. Jangan jadikan rumah ibadah sebagai alat manipulasi,” pungkasnya.