GORONTALO – Kontroversi pemberitaan media daring Bercak.id yang memuat judul “CANDY ZHOU dan ROBIN Diduga Dalang Mafia Batu Hitam: Warga Bongkar Bukti Ilegal di Tengah Kota, Polisi ke Mana?” menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan praktisi hukum media.
Pasalnya, pemberitaan tersebut dinilai melanggar kode etik jurnalistik serta asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pelanggaran Etika dan Praduga Tak Bersalah
Pakar hukum media Jouly Trisno, S.H., M.H., menilai bahwa penggunaan nama individu secara langsung dalam konteks tuduhan kejahatan tanpa adanya bukti hukum yang sah merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip dasar jurnalisme.
“Judul berita yang menyebut nama orang lalu dikaitkan dengan istilah ‘dalang mafia’ itu sudah masuk wilayah penghakiman publik. Padahal, secara hukum, mereka belum tentu terbukti bersalah,” ujar Jouly saat dikonfirmasi, Minggu (09/11/2025).
Menurutnya, penggunaan kata-kata seperti dalang, mafia, dan jaringan ilegal tanpa konfirmasi dari pihak yang disebut dapat menimbulkan trial by media dan pencemaran nama baik, apalagi jika belum ada pernyataan resmi dari aparat penegak hukum.
Ketiadaan Konfirmasi dan Ketimpangan Narasi
Lebih lanjut, Jouly menjelaskan bahwa wartawan wajib menerapkan asas “cover both sides” atau keberimbangan informasi sebelum memublikasikan berita, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Menuliskan ‘media masih berupaya mengkonfirmasi’ di akhir berita tidak bisa dijadikan pembenaran. Prinsipnya, konfirmasi harus dilakukan sebelum berita diterbitkan, bukan sesudah,” tegasnya.
Ia menambahkan, media memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk tidak membingkai berita dengan framing yang menghakimi, terutama pada kasus yang menyangkut nama pribadi atau reputasi seseorang.
Potensi Pelanggaran UU ITE dan Tuntutan Hukum
Menurutnya, pemberitaan semacam ini juga berpotensi melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang mengatur larangan penyebaran informasi elektronik yang mencemarkan nama baik seseorang.
Jika pihak yang disebut merasa dirugikan, mereka dapat menempuh langkah hukum melalui Dewan Pers atau laporan pidana ke kepolisian.
Apalagi sopir truck yang dituduhkan memuat material tambang telah mengkonfirmasi jika muatannya adalah arang tempurung dan tidak kenal dengan nama-nama yang disebutkan media sebagai dalang dan mafia itu.
“Sebelum mengangkat nama seseorang dalam konteks dugaan kejahatan, media seharusnya memastikan dasar faktual dan legalitasnya. Jika tidak, ini bisa berimplikasi hukum dan merusak kredibilitas media itu sendiri,” pungkasnya.
Dorongan untuk Meningkatkan Profesionalisme Media
Jouly juga mengingatkan bahwa media memiliki peran penting dalam menjaga kualitas demokrasi dan kepercayaan publik. Karena itu, setiap redaksi perlu memperkuat prosedur redaksi (editorial policy) yang memastikan semua berita sensitif melalui uji etik dan uji fakta sebelum dipublikasikan.
“Kebebasan pers bukan berarti kebebasan tanpa batas. Ada tanggung jawab sosial dan hukum yang melekat pada setiap karya jurnalistik,” tutupnya.
Kontroversi ini menjadi pengingat bahwa praktik jurnalisme harus senantiasa berpijak pada verifikasi, keberimbangan, dan tanggung jawab moral.
Tanpa itu, media justru berisiko menjadi alat pembunuhan karakter (character assassination) dan kehilangan legitimasi di mata publik serta hukum.