HarianMetro.co, GORONTALO (1 Juni yang Tumpul) Setiap tanggal 1 Juni, kita disuguhi pemandangan yang nyaris seragam: upacara bendera, pidato formal pejabat, baliho bertuliskan “Selamat Hari Lahir Pancasila,” dan arak-arakan media sosial yang dipenuhi kutipan Bung Karno. Namun, di balik euforia semu itu, terselip pertanyaan mendasar: Apakah Pancasila sungguh-sungguh hidup dalam praktik kenegaraan dan kebudayaan kita, ataukah ia kini hanya menjadi relik ideologis yang dijaga oleh seremoni belaka?

Peringatan Hari Lahir Pancasila semakin menyerupai ritual kosong. Bukan karena makna Pancasila telah usang, tetapi karena keberanian kita untuk menafsirkan dan mengaktualisasikannya telah memudar. Kita kehilangan semangat revolusioner yang dulu menyertai kelahirannya.

Pancasila: Sebuah Warisan Revolusi yang Dijinakkan

Ketika Bung Karno menyampaikan pidato monumental pada 1 Juni 1945, Pancasila bukan sekadar rangkaian kata normatif. Ia adalah hasil perenungan panjang, perlawanan terhadap penjajahan, dan respons terhadap krisis identitas nasional. Bung Karno tidak menawarkan dogma, melainkan membuka jalan untuk ideologi yang fleksibel, dinamis, dan hidup dalam denyut rakyat.

Namun kini, Pancasila telah “dijinakkan.” Ia diabadikan dalam teks, dihafalkan dalam lomba, tetapi gagal menjadi etos dalam kebijakan publik dan perilaku elite. Slavoj Zizek, filsuf kontemporer, pernah berkata bahwa “ideologi paling kuat adalah ideologi yang dianggap tidak ideologis.” Pancasila hari ini menjadi korban depolitisasi. Ia disajikan sebagai netral, padahal ia lahir dari pertarungan politik dan keberanian melawan struktur penindasan.

Seremonialisme: Cermin Kekosongan Ideologis

Mengapa seremoni tidak cukup? Karena seremoni tanpa aksi adalah bentuk paling berbahaya dari pembiusan kolektif. Jean Baudrillard menjelaskan konsep simulacra: realitas yang digantikan oleh representasi palsu. Pancasila hari ini telah menjelma simulacra dihormati dalam upacara, namun dikhianati dalam kebijakan.

Ketika korupsi terus merajalela, ketimpangan sosial memburuk, dan hukum hanya tajam ke bawah, nilai-nilai Pancasila tinggal jargon. Upacara tidak menyentuh akar masalah: kemunafikan struktural dalam kehidupan berbangsa.

Pancasila mestinya bukan hanya alat peringatan, tapi alat perjuangan. Karl Marx pernah mengatakan bahwa para filsuf hanya menafsirkan dunia, tetapi yang penting adalah mengubahnya. Maka, kita bertanya: apa gunanya merayakan Pancasila jika ia tidak dijadikan alat perubahan sosial?

Tantangan Revolusi Industri: Pancasila sebagai Kritik atas Kapitalisme Digital

Masuknya Indonesia ke dalam era Revolusi Industri 4.0 dan kini transisi menuju 5.0 menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Pancasila masih relevan dalam menghadapi dunia yang didominasi oleh data, AI, dan disrupsi ekonomi digital?

Jawabannya: ya, tetapi hanya jika Pancasila dibaca sebagai kritik terhadap kapitalisme digital. Sila Keadilan Sosial menuntut agar akses teknologi tidak dimonopoli oleh segelintir elit. Sila Persatuan menuntut bahwa algoritma media sosial tidak boleh menciptakan polarisasi.

Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan modern bukan lagi hanya represif, tetapi produktif—mengatur bukan dengan melarang, tapi dengan membentuk kesadaran. Di era digital, kekuasaan itu hadir dalam bentuk “platform” yang tak terlihat, tetapi mengendalikan pilihan dan perilaku. Maka, Pancasila harus menjadi alat dekonstruksi hegemoni digital, bukan hanya alat kontrol moral.

Penelitian dari LIPI dan CfDS UGM menunjukkan bahwa generasi muda semakin menjauh dari nilai-nilai kebangsaan karena melihat ketidaksesuaian antara apa yang diajarkan dan apa yang dialami. Ketika negara bicara gotong royong, tetapi platform digital dikuasai oleh oligarki, maka yang terjadi adalah kekosongan etis. Di sinilah, Pancasila kehilangan daya hidupnya.

Pancasila dan Proyek Emansipasi

Immanuel Kant percaya bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah pengejawantahan prinsip ini. Namun apakah manusia Indonesia sungguh-sungguh dihargai dalam sistem birokrasi dan hukum kita?

Antonio Gramsci mengemukakan konsep hegemoni kultural, bahwa kelas penguasa mempertahankan dominasinya bukan hanya lewat kekerasan, tapi lewat normalisasi nilai. Maka, untuk menyelamatkan Pancasila, kita harus merebut ulang narasinya dari elite yang menjadikannya alat legitimasi kekuasaan.

Hannah Arendt berbicara tentang vita activa—hidup aktif dalam politik sebagai esensi kebebasan. Pancasila, jika dipahami sebagai dasar etis untuk kehidupan publik, menuntut partisipasi rakyat, bukan sekadar ketaatan dalam diam.

Menuju Pancasila Emansipatoris: Tindakan Bukan Sekadar Teks

Sudah saatnya kita memulihkan Pancasila dari cengkeraman birokrasi simbolik. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab setiap warga yang percaya bahwa Indonesia masih mungkin dibangun di atas prinsip keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.
Kita butuh:

  • Reformasi kurikulum pendidikan yang mengajarkan Pancasila secara kontekstual, bukan dogmatis.
  • Etika digital berbasis Pancasila dalam pengembangan AI dan algoritma.
  • Kebijakan ekonomi yang menjadikan sila kelima sebagai prinsip distribusi kesejahteraan, bukan retorika.

Dari Seremoni ke Substansi

Pancasila tidak lahir untuk disembah, tapi untuk dijalankan. Ia bukan kitab suci, tetapi proyek peradaban yang menuntut tafsir kritis dan keberanian politis. Hari Lahir Pancasila bukan sekadar tanggal, tetapi cermin: apakah kita bangsa yang konsisten pada prinsip, atau hanya bangsa yang pandai berupacara?

Jika kita ingin Pancasila tetap hidup, maka kita harus menghidupinya dalam kebijakan, budaya, dan keberanian untuk berubah. Sebab ideologi yang besar bukan hanya dikenang, tetapi dilaksanakan.

“Mereka yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya, George Santayana”.

Penulis: Zulfikar S. Daday
Penerbit: HM

Artikel Pancasila di Persimpangan Sejarah: Antara Seremonialisme dan Tanggung Jawab Revolusioner pertama kali tampil pada HARIAN METRO.