JAKARTA – Ada kesedihan yang tidak berteriak, hanya menunggu meledak di dalam dada. Dari kesunyian semacam itulah Pearl lahir sebuah potret tentang perempuan muda yang terlalu haus akan cahaya, tapi terjebak dalam bayang-bayang hidup yang tak memberinya ruang untuk bermimpi.

Film ini disutradarai oleh Ti West, dan menjadi bagian dari trilogi X yang mengupas sisi tergelap dari ambisi, kesepian, dan kebutuhan untuk diakui.

Namun berbeda dari film horor kebanyakan, Pearl bukan semata kisah tentang darah dan kematian. Ini merupakan kisah tentang kegelisahan yang tumbuh perlahan sampai akhirnya berubah menjadi kegilaan yang tak bisa dibendung.

Pearl (Mia Goth) tinggal di sebuah peternakan terpencil bersama ibunya yang keras dan ayahnya yang lumpuh. Suaminya pergi berperang, meninggalkannya dalam rutinitas yang membosankan dan menyesakkan.

Di tengah lumpur, bau ternak, dan langit yang tak pernah berubah warna, Pearl bermimpi menjadi bintang film. Ia ingin menari di panggung, ingin disorot kamera, ingin dilihat ingin hidup lebih dari sekadar menjadi “anak petani”.

Tapi dunia tidak memberi ruang bagi mimpi semacam itu. Ibunya menolak, lingkungannya tak peduli. Maka, kegilaan tumbuh dari kekecewaan yang terlalu lama disimpan.

Ti West menangkap itu dengan cara yang ironis: warna-warna cerah khas film Hollywood klasik tahun 1950-an menjadi latar bagi cerita yang kelam, seolah mimpi Pearl begitu indah sampai akhirnya menelan dirinya sendiri.

Mia Goth tampil luar biasa. Wajahnya memancarkan keinginan yang tulus, tapi matanya menyimpan jurang yang dalam. Dalam satu adegan panjang hanya duduk dan berbicara di depan kamera ia mengaku segalanya: rasa iri, haus kasih sayang, dan ketakutan akan hidup yang sia-sia. Itu bukan lagi monolog seorang pembunuh, tapi jeritan batin manusia yang tak pernah benar-benar didengar.

Pearl membunuh bukan karena benci, melainkan karena ia ingin mencintai dan dicintai dengan caranya sendiri caranya yang rusak. Ia membunuh karena ingin bertahan, karena dunia terlalu sempit untuk mimpinya. 

Dan di situlah Pearl menjadi lebih dari sekadar film horor. Ia berubah menjadi refleksi tentang perempuan, ambisi, dan batas tipis antara harapan dan kegilaan.