Aktivitas pertambangan rakyat di Gorontalo telah berlangsung sejak jaman pra kemerdekaan, yang secara turun temurun di kelola secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di area lingkar tambang.
Seiring berjalannya waktu, komoditas emas merupakan material yang tidak bisa diperbaharui ini menjadi incaran sejumlah investor karena harganya yang cenderung naik dari waktu ke waktu, ironisnya persoalan perizinan yang tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah, menjadikan investor pembeli emas mencari celah untuk dapat menguasai hasil alam ini tanpa melalui mekanisme perizinan sesuai undang-undang, hal inilah kemudian menjadikan APH sebagai instansi yang di lirik untuk dijadikan becking dalam aktivitas pertambangan rakyat di Gorontalo.
baca : Tambang Emas Ilegal Jadi Penyebab Lonjakan Kasus Malaria di Pohuwato, 2 Warga Meninggal Dunia
Secara historis, perizinan pertambangan di Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika Indonesia masih dalam bentuk kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh nusantara. Izin tambang pada saat itu izin diberikan oleh raja secara lisan kepada penambang-penambang tradisional berdasarkan hukum adat masing-masing. Setelah Belanda masuk dan menjajah Indonesia, Belanda menerbitkan Indonesische Mijnwet Staatsblad 1899 Nomor 214 sebagai Undang-undang Pertambangan. Perizinan pertambangan pada saat Belanda menjajah bersifat diskriminatif dan sangat dipengaruhi oleh paham liberalis dan kapitalis untuk menjaga kepentingan Belanda di Indonesia. Izin tambang pada zaman Belanda hanya diberikan kepada warga negara Belanda, penduduk Hinda Belanda atau perusahaan yang didirikan berdasarkan undang-undang Belanda atau Hindia Belanda (Karim and Mills, 2003).
Pada tahun 1960 Indonesische Wijnwet dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960. Pada akhirnya Undang-undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 dicabut dan diganti pada tahun 1967 yang mana Indonesia memiliki peraturan khusus tentang pertambangan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang mana dalam pelaksanaan dan pengaturan usaha pertambangannya didasarkan atas penggolongan jenis bahan galian. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, pemerintah pusat memiliki kewenangan penuh atas bahan galian a (strategis), sementara pemerintah provinsi berwenang penuh atas bahan galian c (non-strategis dan non-vital). Selanjutnya untuk bahan galian b (vital) tergantung ada atau tidaknya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat atau pelaksanaan penguasaan negara atas bahan galian golongan b (vital) yang dapat dilakukan pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi. Istilah izin tambang pada masa ini dikenal dengan “Kuasa Pertambangan” karena istilah konsesi sebelumnya dianggap memberikan hak yang terlalu luas dan kuat bagi pemegang konsesi.
Pada saat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terjadi pelimpangan wewenang yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus pertambangan berdasarkan prinsip otonomi. Tujuan dari pelimpahan wewenang yang luas ini agar pemerintah daerah dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daereh (PAD) dari sektor pertambangan karena mereka dapat menarik penerimaan dari pajak, retribusi dan iuran-iuran lainnya. Kewenangan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah meliputi pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah, kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah, dan pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
baca : Surati Gubernur Gorontalo, Bupati Pohuwato Minta Tambang Emas Ilegal di Wilayahnya Ditertibkan
Selanjutnya kewenangan pemerintah daerah diperkuat dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberi kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah baik gubernur maupun bupati/walikota. Kewenangan tersebut berbentuk perizinan yang ditentukan berdasarkan batas-batas wilayah. Sementara bentuk istilah “Kuasa Pertambangan” diganti dengan tiga bentuk perizinan yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Pada akhirnya dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kewenangan pemerintah daerah ditarik semua ke pemerintah pusat mulai dari IUP, IPR, IUPK, SIPB, Izin Penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP dan IUP untuk penjualan. Walaupun semua kewenangan pemerintah daerah ditarik semua dalam perizinan tambang, pemerintah daerah masih bisa mengurus perizinan pertambangan apabila pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bidang energi dan sumber daya mineral dimasukan ke dalam penyederhanaan perizinan berusaha dengan kemudahan dan persyaratan investasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Permasalahan Perizinan Pertambangan di Indonesia
Jika dilihat dari sejarah singkatnya sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tarik ulur kewenangan perizinan pertambangan pusat dan daerah sudah terjadi sejak lama dan belum ada formula yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan perizinan pertambangan di Indonesia. Pemerintah belum menemukan akar permasalahan yang terjadi dalam perizinan pertambangan sehingga ketika terjadi permasalahan perizinan di daerah, pemerintahan pusat menarik kewenangan daerah kembali ke pusat. Sebaliknya jika sewaktu-waktu terjadi permasalahan lagi ketika pemerintah pusat mengurus secara terpusat perizinan pertambangan, pemerintah daerah kembali diberikan kewenangan untuk mengurusi perizinan tersebut.
baca : Maraknya Aktivitas PETI di Pohuwato, Penegakan Hukum Dipertanyakan
Tarik ulur kewenangan perizinan yang terjadi selama ini, telah dimanfaakan oleh mafia pertambangan untuk mengelola lokasi tambang rakyat dengan melakukan eksplorasi secara massif tanpa memikirkan dampak sebagai akibat dari kegiatan pertambangan yang dilakukan.
Pelaku pertambangan illegal telah mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat sekitar. Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK, untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya sementara pada aspek lingkungan, PETI berpotensi menimbulkan dampak kerusakan karena tidak ada mekanisme reklamasi dan pengelolaan limbah.
Pada umumnya lahan bekas PETI dengan metode tambang terbuka yang sudah tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang mengalir di sekitar PETI bersifat asam.
Kerusakan Lingkungan Akibat Aktivias Pertambangan di Kabupaten Pohuwato
Data Global Forest Watch menyebut, Kabupaten Pohuwato menjadi wilayah paling banyak kehilangan tutupan pohon dibandingkan dengan lima kabupaten dan kota lainnya di Gorontalo.
Sejak 2001 hingga 2022, ada sekitar 38,6 ribu hektar tutupan pohon yang hilang di wilayah barat Gorontalo ini. Hal itu disinyalir karena keberadaan industri ekstraktif di wilayah itu, termasuk pertambangan.
Pasalnya, pelaku pertambangan illegal menggunakan alat berat dengan jumlah yang banyak untuk mengeruk kulit bumi hingga bentang alam di kawasan hutan berubah drastis. Kondisi ini akan memicu dampak yang lebih besar, dan mengancam semua ekosistem yang ada di sekitar, termasuk manusia.
baca : Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Pohuwato Merajalela, Diduga Libatkan Oknum Aparat
Merujuk pada penelitian Ramli Utina dan rekannya dari Universitas Negeri Gorontalo, kandungan merkuri di Pohuwato sudah cukup tinggi, bahkan sudah mencemari rantai makanan spesies burung perairan di kawasan pesisir.
Penelitian dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pohuwato menyebut, padi di Pohuwato juga telah terkontaminasi merkuri dari air di sejumlah sungai di wilayah itu, petani pun harus menelan pil pahit akibat aktivitas pertambangan emas ilegal itu hal ini bertolak belakang dengan program Presiden RI Prabowo Subianto yang menargetkan Indonesia mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun mendatang dengan mencetak luas lahan panen hingga empat juta hektar di akhir masa jabatannya.
Kasus malaria di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, terus mengalami peningkatan signifikan dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pohuwato, tercatat sebanyak 1.541 kasus malaria sejak 2023 hingga Februari 2025.
Kecamatan Marisa menjadi wilayah dengan jumlah pasien malaria tertinggi, mencapai 315 kasus, diikuti oleh Kecamatan Buntulia dengan 289 kasus, serta Kecamatan Taluditi dengan 264 kasus.
Menurut Inang Toma, S.T.Keb., Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Pelayanan Rumah Sakit Bumi Panua Pohuwato, sebagian besar pasien malaria merupakan orang dewasa, terutama pekerja tambang. Namun, tidak sedikit juga anak-anak dan perempuan—yang merupakan keluarga para penambang—turut terpapar penyakit ini.
“Kondisi lingkungan di sekitar lokasi tambang menjadi faktor utama penyebaran malaria. Selain itu, mobilitas tinggi dari para penambang juga mempercepat penularan penyakit ini di berbagai wilayah,” jelas Inang.
Pembiaran aktivitas PETI ini tidak hanya merusak lingkungan hidup, tetapi juga menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat setempat, pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah PETI, namun pembiaran aktivitas ini di Pohuwato menjadi tantangan bagi program pemerintah daerah khususnya dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak melupakan sumber ekonomi masyarakat dan menjadi sumber pendapatan asli daerah.
Pembiaran aktivitas PETI di Pohuwato menjadi contoh bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah yang baru saja dilantik untuk mengatasi masalah lingkungan hidup dan melindungi keselamatan masyarakat.