SURABAYA – Agustus merupakan bulan di mana seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaannya, tepatnya pada tanggal 17.
Namun, pada Agustus 2025 ini tercoreng oleh aksi demonstrasi anarkis dengan membakar fasilitas umum, gedung pemerintahan, hingga pos dan kantor polisi di sejumlah daerah Indonesia.
Aksi ini berawal dari luapan kekecewaan masyarakat terhadap kenaikan gaji dan tunjangan DPR pada 25 Agustus 2025. Protes tersebut berubah menjadi kemarahan nasional setelah tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang terlindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada 28 Agustus 2025.
Peristiwa itu menjadi titik balik yang memicu gelombang solidaritas, terutama dari komunitas ojol, mahasiswa, buruh, hingga masyarakat luas di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, hingga Papua.
Gelombang demonstrasi besar sejak 25–30 Agustus menuai beragam respons dari para pemimpin daerah. Ada yang memilih diam, ada yang bergerak lewat kebijakan, ada pula yang turun langsung menemui massa meski dilempari batu. Bahkan, ada yang hadir dengan simbol budaya, dan ada yang berdiri di tengah hujan.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung
Pramono Anung memilih tidak turun langsung menemui massa. Ia bekerja senyap sejak pagi dengan meninjau titik-titik terdampak ricuh, berkoordinasi dengan Pangdam Jaya dan Kapolda Metro, serta menginstruksikan langkah cepat untuk memulihkan kondisi Jakarta.
“Semua pemimpin punya cara berbeda-beda. Tetapi saya bekerja keras untuk itu. Orang tidak menyangka bahwa jam setengah enam pagi saya sudah di lapangan. Saya lebih ingin bekerja menyelesaikan masalah,” ungkapnya.
Jawa Barat – Dedi Mulyadi
Gubernur yang akrab disapa Bapak Aing ini memilih turun langsung menemui massa meski dilempari batu. Dalam video amatir yang beredar luas di media sosial, Dedi tampak berdialog dengan massa dan berusaha menenangkan situasi.
“Jika kalian marah, marahlah pada saya, jangan hancurkan Bandung,” tegasnya.
Jawa Tengah – Ahmad Luthfi
Gubernur purnawirawan polisi ini mengambil langkah berbeda. Ia menghimbau masyarakat Jawa Tengah agar tidak mudah terprovokasi.
“Kita jaga sama-sama Jateng yang selama ini sudah baik dan kondusif. Saya minta masyarakat tetap tertib,” ujarnya.
Gubernur Jawa Timur – Khofifah Indar Parawansa
Orang nomor satu di Jawa Timur ini turun langsung menemui pendemo di depan Gedung Grahadi untuk meredakan tensi massa. Khofifah berpesan agar unjuk rasa tidak dilakukan dengan cara anarkis.
“Hormati semua dalam menyampaikan pendapat, jangan anarkis,” pungkasnya.
Namun, tak lama setelah Khofifah menemui massa, terjadi insiden pembakaran Gedung Grahadi yang merupakan bangunan cagar budaya.
Surabaya – Eri Cahyadi
Wali Kota Surabaya memilih tidak menemui massa meski sejumlah fasilitas kota porak poranda. Ia mengambil langkah lain dengan memimpin langsung pembersihan jalan pasca-demonstrasi.
“Saya minta tolong untuk dijaga fasilitas umum karena ini adalah milik warga,” pesannya.
Langkah taktis yang diambil para pemimpin untuk meredam aksi massa memang berbeda. Namun, di sinilah para pemimpin diuji: siapakah yang benar-benar berhasil meredam aksi anarkis, dan siapakah yang hanya sekadar tampil untuk pencitraan. Kredibilitas mereka kini dipertaruhkan.