BONE BOLANGO – Di balik laporan Forum Pemuda Gorontalo (FPG) Jasmin Dalango ke Mabes Polri terkait dugaan aktivitas pertambangan rakyat di Bone Bolango, terselip aroma permainan bisnis, tekanan aparat, dan intrik perebutan kendali jalur distribusi material tambang. Warga penambang yang selama ini memilih diam, kini buka suara.

Tambang Nafas Terakhir Ekonomi Warga

Bone Bolango bukan wilayah kaya. Data resmi BPS menempatkan Gorontalo di peringkat kelima termiskin di Indonesia. Lapangan kerja nyaris tidak ada. Dalam kondisi ini, tambang emas rakyat menjadi satu-satunya penopang ekonomi ribuan kepala keluarga.

Ismail, penambang berusia 42 tahun, mengaku tak punya pilihan lain.

“Kami tidak mencari masalah dengan hukum, tapi perut keluarga harus diisi. Kalau ada pekerjaan lain yang layak, kami ambil. Tapi faktanya hanya tambang yang ada,” ujarnya dengan mata lelah.

Nama dan Motif Mulai Terbuka

Sejumlah narasumber yang diwawancarai awak media menyebut nama Jasmin Dalanggo sebagai pelapor dari FPG merupakan warga Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo dan memiliki kedekatan khusus dengan salah satu pembeli material. Warga menduga, laporan ini berkaitan erat dengan kepentingan seorang pembeli material bernama Ko Joly Santos.

Sandi, pengojek di lokasi tambang, membeberkan cerita yang membuat kening berkerut.

“Orang suruhan Ko Joly, yang katanya oknum aparat penegak hukum, sudah berkali-kali datang. Mereka minta material dijual ke Ko Joly dengan harga murah. Kami tolak, karena harga yang ditawarkan tidak masuk akal,” katanya.

Beberapa pengepul bahkan mengaku diintimidasi secara halus agar melepas material kepada pembeli yang sama. Nama-nama oknum aparat mulai beredar, namun warga masih enggan mengungkap semua secara resmi dan akan disampaikan saat aksi demo penambang rakyat.

WPR Janji yang Tak Pernah Ditepati

Inti persoalan ini bukan sekadar tambang, melainkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang tak kunjung disahkan pemerintah daerah. Tanpa WPR, para penambang tetap beroperasi di wilayah abu-abu hukum, rawan dijadikan kambing hitam, dan mudah ditekan pihak berkepentingan.

“Kalau WPR ada, semua legal. Kami bayar pajak, kami ikut aturan. Tapi pemerintah diam. Lalu kami yang disalahkan,” kata Ismail. Laporan ini hanya untuk menguntungkan segelintir pihak yang ingin menguasai alur material. Masalah utamanya adalah kemiskinan dan akses legal yang ditutup rapat,” tegasnya.

Desakan untuk Pemerintah

Warga menuntut pemerintah pusat dan daerah untuk turun langsung, menyelesaikan persoalan dengan membuka WPR, dan memberikan perlindungan hukum. Mereka mengingatkan, kebijakan yang mengabaikan realitas sosial hanya akan memicu gejolak.

“Kami bukan mafia, bukan perampok seperti yang di beritakan Jasmin Dalango. Kami hanya rakyat yang berjuang. Kalau pemerintah tidak berpihak, berarti mereka ikut membiarkan kami mati pelan-pelan,” tutup Ismail.