SURABAYA – “Kon tak tunggu-tunggu, Ru,” kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Pak Wi begitu saya mendekatinya. Lafalnya memang tak lagi jelas, tetapi sorot mata dan senyum cerianya tetap terasa hangat.

April lalu, untuk kesekian kalinya, Pak Wi harus dirawat di rumah sakit. “Papa jatuh,” cerita Adi, putra sulungnya. Tulang di sekitar pinggangnya retak dan harus dioperasi. Sejak itu, ingatannya kian merosot. Bahkan, kepada Didin sahabat yang belasan tahun setia menemaninya ia sering lupa.

Saya mencoba menguji memorinya. “Pak Wi ingat Harun? Wignyo?” tanyaku pelan. Ia mengangguk, meski suaranya lirih menyebut dua nama itu.

Perpustakaan Medayu Agung dan Awal Pertemuan

Harun adalah orang pertama yang bekerja di Perpustakaan Medayu Agung sejak resmi berdiri tahun 2001. Tak lama setelah itu, saya ikut bergabung. Awalnya, ‘Perpus’ begitu kami menyebutnya berada di sebuah rumah kontrakan di Gang VII, Perumahan Medayu.

Saya sendiri datang ke Perpus atas rekomendasi almarhum Pak Hendi. Waktu itu saya sempat sakit dan dirawat di desa. Saat sembuh, Pak Hendi memberi kabar ada pekerjaan untuk saya di Surabaya. Ternyata, tugas itu sebagai penulis di koran berbahasa Mandarin Cheng Bao.

Suatu hari, Pak Hendi meminta saya menemui Pak Wi. Saya sudah mengenalnya sekilas. Ia adalah mantan tapol Pulau Buru yang kemudian menjadi penyalur buku-buku Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra.

Ketika saya datang ke ruang kerjanya yang penuh dengan buku dan koran, Pak Wi langsung mengajak saya bergabung membantu mengurus Perpus. Tugas saya: membaca dan menulis materi untuk Cheng Bao. “Bayaranmu 400, Ru,” ujarnya sambil menunjukkan empat jari.

Sejak awal, Perpus ramai dikunjungi mahasiswa, peneliti, dan wartawan. Sosok Pak Wi dan koleksi buku-bukunya menjadi magnet tersendiri.

Jejak Perjalanan Bersama Pak Wi

Saya bekerja di Perpus sekitar dua tahun. Saat Perpus pindah ke gedung baru yang lebih megah, saya sudah tidak lagi menjadi karyawan. Namun, hubungan saya dengan Perpus dan Pak Wi tidak pernah putus.

Buku-buku koleksinya sangat saya butuhkan, terutama untuk tulisan saya di rubrik Pecinan majalah Liberty.

Bahkan, saya pernah menemani Pak Wi ke Malang untuk menelusuri rumah masa kecilnya di Klojen Kidul. 

Dari perjalanan itu, saya bisa menulis kisah tentang Yap Bo Chin, agen Kuomintang yang rumah persembunyiannya dulu sempat berkaitan dengan keluarga Pak Wi.

Sekitar tahun 2010, Pak Wi bercerita bahwa ia diminta menuliskan kisah hidupnya. Ia menyerahkan catatan tangan berisi kenangan masa kecil hingga pengalamannya sebagai tahanan politik Orde Baru selama 13 tahun, dari Kamp Gabsin di Batu hingga Pulau Buru.

Butuh lima tahun hingga akhirnya naskah itu selesai saya tulis. Hasilnya adalah buku Memoar Oei Hiem Hwie Dari Pulau Buru Sampai Perpustakaan Medayu Agung. Buku itu awalnya dicetak terbatas, hanya untuk dibagikan. Namun, karena banyak permintaan, kemudian dicetak ulang dan dijual.

Setia pada Buku, Setia pada Bangsa

Meski kondisi kesehatannya menurun, Pak Wi tetap konsisten menjaga koleksi buku berharga di Perpus. Ia pernah ditawari Rp1 miliar oleh seorang tamu dari Australia untuk membeli buku-bukunya, tapi ia menolak.

“Buku-buku ini teman setia saya, selalu menemani suka maupun duka. Terpenting lagi, ada perjalanan sejarah bangsa ini di dalamnya,” tegasnya kala itu.

Putra keduanya, Yudi, mendukung sikap sang ayah. “Buat apa Pa uang banyak kalau nanti saya dan teman-teman saya tidak bisa lagi membacanya,” ucapnya, seperti ditirukan Pak Wi.

Selama bertahun-tahun, banyak tokoh datang menjenguk Pak Wi, baik ketika ia dirawat di rumah sakit maupun saat terbaring di rumah. 

Dari aktivis senior hingga sahabat-sahabat lama sesama penyintas Pulau Buru. Bahkan, sejumlah sutradara muda menjadikannya bagian dari dokumentasi perjalanan Pramoedya Ananta Toer.

Berpulang dalam Damai

Rabu lalu, saya menerima kabar duka dari Didin melalui WhatsApp. “Mas, ada kabar duka. Pak Oei meninggal tadi pagi jam setengah sepuluh.”

Selamat jalan, Pak Wi. Setiamu pada buku adalah setia pada bangsa. Semoga damai selalu menyertaimu, menyusul kepergian Bu Wi tiga tahun lalu.

Batavia, 5 September 2025