SURABAYA – Pemandangan keluarga pasien yang terpaksa beristirahat seadanya, bahkan menggelar alas tidur di pelataran depan RSUD Dr. Mohamad Soewandhie, Surabaya, menjadi sorotan tajam Komisi D DPRD Kota Surabaya.
Minimnya fasilitas ruang tunggu dinilai menjadi penyebab utama kondisi tersebut, khususnya bagi keluarga pasien yang menjaga di ruang ICU.
Anggota Komisi D, Zuhrotul Mar’ah dari politisi PAN menyampaikan bahwa keluhan semacam ini kerap diterimanya langsung dari masyarakat.
“Kami kerap dikeluhkan masyarakat terkait tidak adanya ruang tunggu yang layak di RSUD Dr. Mohamad Soewandhie,” katanya dalam pertemuan dengan pihak rumah sakit, Senin (23/6).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama RSUD Soewandhie, dr Billy Daniel Messakh, mengungkapkan bahwa pemindahan ruang tunggu dari lantai 4 ke pelataran depan merupakan keputusan sulit yang diambil demi keamanan barang milik pasien dan keluarganya.
“Evaluasi kami, saat ruang tunggu berada di lantai 4, sering terjadi kasus kehilangan barang. Dari rekaman CCTV, kami temukan bahwa pelakunya adalah oknum yang menyamar sebagai penunggu pasien,” jelas dr Billy.
Ia menjelaskan, meskipun sudah ada petugas keamanan, pengawasan di malam hari tidak maksimal karena fokus penjagaan berada di pintu utama. Akibatnya, aksi pencurian seperti ponsel dan barang berharga kerap terjadi.
“Pelaku masuk, melihat situasi sepi karena hanya ada perawat, lalu beraksi. Meskipun beberapa kali pelaku tertangkap dan barang kembali, kejadian ini terus berulang,” tambahnya.
Sebagai solusi, manajemen rumah sakit memusatkan ruang tunggu di pelataran depan lantai 1 dan hanya menyediakan kursi. Namun, kebijakan ini memunculkan persoalan baru: keluarga pasien menggunakan area tersebut untuk tidur, lengkap dengan alas yang dibawa sendiri.
“Ini kan jadi kurang bagus kelihatannya kalau di dalam. Kesan kempro (kumuh) ini tidak bisa kita hilangkan dan berimbas pada program wisata medis kita yang jadi tidak laku,” keluhnya.
Untuk berkomunikasi dengan keluarga pasien di luar, rumah sakit menggunakan sistem pengeras suara dan telepon seluler jika ada informasi penting yang perlu disampaikan.
Selain persoalan ruang tunggu, dr Billy juga menyoroti masalah lain yang kerap menimbulkan gesekan, yaitu kebijakan baru BPJS Kesehatan terkait layanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). BPJS kini hanya menanggung kasus yang benar-benar masuk kategori gawat darurat.
“Benturannya terjadi antara kami dan masyarakat. Menurut keluarga pasien, kondisi mereka sudah sakit serius. Namun setelah kami periksa, ternyata tidak masuk dalam klasifikasi emergensi menurut BPJS,” terangnya.
Dalam situasi seperti ini, pihak rumah sakit harus menawarkan dua pilihan kepada pasien: beralih ke jalur umum dengan biaya mandiri, atau kembali ke Puskesmas.
“Di sinilah sering terjadi perdebatan. Ada yang legawa memilih bayar umum, tapi banyak juga yang bersikeras karena merasa sudah dijamin pemerintah. Aturannya bukan dari kami, tapi kami yang jadi sasaran warga,” jelasnya.
Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, dr Billy menyampaikan sejumlah capaian positif. Salah satunya adalah peningkatan efisiensi layanan poliklinik yang kini rata-rata hanya memerlukan waktu 27 menit per pasien.
“Bahwa secara umum waktu tunggu pelayanan di setiap poliklinik sudah jauh lebih baik, dengan rata-rata 27 menit per pasien,” ungkapnya.
Dari sisi anggaran, RSUD Soewandhie mencatat efisiensi penggunaan belanja sebesar 85 persen dari total anggaran, dengan capaian pendapatan tahun 2024 sebesar Rp 288 miliar dari target Rp 295 miliar.
“RSUD Dr Soewandhie juga mencatatkan efisiensi dengan hanya menggunakan 85 dari total anggaran belanja, dan menghasilkan sisa anggaran yang signifikan,” pungkasnya.