JAKARTA – Apa jadinya jika dalam waktu 45 hari kamu tak juga menemukan pasangan, dan sebagai gantinya kamu harus diubah menjadi binatang? Itulah premis ganjil sekaligus menyayat dari The Lobster, film garapan Yorgos Lanthimos yang pertama kali mengenalkan absurditas relasi manusia pada dunia dengan cara yang dingin, janggal, tapi penuh makna.

Pengenalan Tokoh & Dunia yang Dingin

David (Colin Farrell), pria pendiam yang baru saja ditinggal istrinya, dikirim ke sebuah hotel. Di sana, ia harus mengikuti aturan tak masuk akal: Menemukan pasangan hidup dalam waktu 45 hari, atau ia akan diubah menjadi binatang pilihannya seekor lobster, katanya, karena bisa hidup lama dan tetap subur.

Hotel itu bukan tempat romantis. Ia lebih seperti kamp penjinakan. Para tamu diatur, diawasi, dan diberi sanksi atas setiap bentuk ketidaktaatan emosional. Tak ada ruang untuk spontanitas. Semua tentang kesamaan: rabun dengan rabun, pendiam dengan pendiam, pemburu dengan pemburu.

Konflik: Antara Takut Sendiri dan Terjebak Sistem

Ketika David gagal menemukan pasangan, ia kabur dan bergabung dengan kelompok “loners” di hutan. Tapi di luar hotel pun tak ada kebebasan. Loner justru melarang keras cinta. Hukum di luar dan di dalam sama kerasnya, hanya berganti bentuk.

Di tengah itu, David bertemu wanita rabun (Rachel Weisz). Cinta muncul bukan karena sistem, tapi karena rasa. Dan justru karena cinta itu, keduanya harus berhadapan dengan sistem yang sama-sama menolak pilihan bebas.

Pesan & Simbol yang Menggelitik

1. Absurdnya norma sosial: Film ini menyindir betapa masyarakat kadang memaksa kita mengikuti pola hubungan yang seragam bahwa sendiri itu salah, dan hubungan harus memenuhi format tertentu.

2. Cinta sebagai pilihan bebas: Lanthimos memperlihatkan bahwa cinta yang lahir bukan karena aturan, tapi karena rasa, justru yang paling berharga meskipun berisiko.

3. Manusia sebagai makhluk yang haus afeksi, tapi juga terjebak sistem: Melalui dunia yang satir, kita ditanya ulang: apakah kita mencintai karena mau, atau karena takut?

Gaya Visual & Eksekusi

Akting Colin Farrell sebagai David sangat kuat dingin tapi menyimpan beban emosi. Ia bertransformasi dari pria putus asa menjadi sosok yang berani melawan sistem demi rasa cinta.

Rachel Weisz tampil lembut tapi menyayat. Narasinya yang tenang justru memberi bobot pada absurditas film.

Gaya penyutradaraan Yorgos Lanthimos khas: datar, statis, dialog kaku semuanya sengaja dibuat hambar agar penonton merasa janggal. Tapi justru di situlah rasa itu tumbuh.

Catatan 

The Lobster bukan film untuk semua orang. Tapi bagi yang siap menyelami absurditas hidup, film ini akan terasa seperti kaca memantulkan bagaimana kita hidup di bawah tekanan, dan bagaimana kita mencintai.

Karena di dunia yang memaksa semua orang punya pasangan, cinta yang bebas justru menjadi bentuk perlawanan paling murni.